Nine | 09:15

12.8K 2.4K 85
                                    

Ras, lusa Azka ulang tahun. Datang ya?

Paginya, Laras terbangun dengan jantung berdebar karena pesan dari Jannah. Apa sahabatnya tersebut mengigau? Bukankah tadi malam ia telah berjanji?

Tidak ingin dibuat bertanya-tanya sendiri, Laras segera menelepon Jannah. Namun, hingga nada sambung berakhir, perempuan itu tidak kunjung menjawab panggilannya.

Laras menggigit bibirnya yang mengering. Benar-benar tidak ingin ada kesalahpahaman yang menuntunnya ke dalam jurang kelak.

Drrt... drrrt...

Ponselnya yang masih berada di tangan bergetar. Laras tidak sadar bila dirinya telah melamun cukup lama. Tidak peduli akan keadaan napasnya yang kurang sedap terhirup penciuman sendiri karena baru bangun tidur, ia pun bergegas mengangkatnya.

"Halo?"

"Hey, Laras. Sori, gue lagi buat sarapan nih buat Azka. Kesiangan tadi, jadi belum sempat pegang hape. Ada apa?"

Di seberang sana, terlihat Jannah tengah memotong buah nanas sebagai topping bubur oatmeal Azka sambil mengapit ponsel dengan bahu dan daun telinganya.

"Jan, lo nggak salah kirim tadi?"

"Nggak." Jannah menyisir pandangan di ruang makan terlebih dulu, memastikan bahwa tidak ada Bara di sana. "Azka emang ulang tahun. Lo nggak lupa, kan?"

"Bukan itu yang mau gue bahas." Terdengar desahan frustrasi dari Laras. "Lo nggak lupa yang semalam gue minta, kan, Jan?"

"Nggak, Ras. Gue paham."

"Terus?"

Jannah menarik napas dalam-dalam. "Gue cuma pengin lihat lo move on. Past is just past."

"Gue nggak—"

"Gue janji, semua ini bukan tanpa alasan..."

Penjelasan yang mengejutkan pun keluar dari mulut Jannah. Hal yang membuat Laras benar-benar dilema.

***

Jannah tersenyum puas saat kue ulang tahun buatannya telah selesai. Namun, ekspresi senangnya tidak bertahan lama di wajah cantik itu. Karena sedetik kemudian, jemari lentik lain mencolek krim di atas kue berwarna biru langit tersebut tanpa merasa bersalah.

"Hmm, enak."

Kesal, Jannah langsung memukul tangan Meera yang digunakan untuk merusak estetika mahakaryanya. "Ah, kamu nih! Udah cuci tangan belum tuh?!"

"Udahlah!" Meera menjilati jari telunjuknya. Untung saja ia mencuci tangan dengan sabun dan air yang mengalir. Kalau tidak, rasanya pasti akan pahit karena hand sanitizer. "Kak Jan emang ibu yang sweet. Anak ulang tahun, dibikinin kue. Kalau aku nanti, kasih duit aja ke anaknya. Biar dia beli sendiri."

Jannah berdecak mendengarnya. "Udah bahas anak aja. Cowoknya dulu cari."

"Ish!" Meera berdesis, keki. Paling sebal jika topik pembicaraan sudah mengarah ke makhluk yang paling Meera nggak suka. Ya, laki-laki. Tapi tentu saja tidak termasuk papa, masnya, dan keponakan tersayang. "Nggak usah mulai deh. Being single is better!"

Mendengarnya, membuat Jannah tersenyum sendu. "Kakak cuma berharap kamu nggak memukul rata semua cowok, Meera. Mama dan Papa juga pasti sedih kalau pandangan kamu jadi—"

"Eh, kenapa nih?" Sosok Bara tiba-tiba muncul. Sebelah alisnya menukik, bingung melihat atmosfer biru di antara kakak dan adiknya. "Ada yang main rahasia-rahasiaan kayaknya."

Jannah mendengus. "Masalah anak gadis. Cowok."

"Siapa yang nyakitin kamu?" Tiba-tiba saja Bara pasang badan. Seolah lelaki itu siap memberi pelajaran pada laki-laki yang telah melukai hati adiknya.

00:00 (a New Beginning) #1Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang