Eleven | 11:22

12.3K 2.3K 204
                                    

Selesai makan bersama, Laras pun hendak berpamitan. Namun, sebelum sahabatnya tersebut berdiri dari tempatnya, Jannah terlebih dulu mencegah.

"Eh, Ras, tunggu. Ini masih banyak makanannya. Mau dibawain aja nggak? Lumayan buat orang di rumah, kan?" Jannah bersungguh-sungguh menawarkan. Pertama, memang karena mubazir terbuang. Kedua, tentu saja karena ingin menahan perempuan itu lebih lama.

Gemas, Jannah pun melempar lirikan pada Bara yang hanya terdiam sambil memandangi Laras. "Bara juga kayaknya ada yang mau diomongin soal kerjaan ya, Bar? Nggak sekalian aja hari ini juga? Mumpung kalian ketemu. Daripada harus keluar-keluar lagi nanti," lanjut Jannah, merancang skenario mendadak dalam kepalanya.

"Oh? Ah, iya." Bara menjentik jemari panjangnya seraya bangkit dari kursi. "Saya mau bahas soal series, again. Kamu masih buru-buru, Laras?" tanyanya, meyakinkan jika waktu mereka tidak singkat seperti pertemuan sebelumnya.

"Kebetulan lagi free," balas Laras, jujur.

Laras memang tidak punya kerjaan selain menulis, menulis, dan mengedit naskah. Sibuk hanyalah sebuah alasan untuk menghindari segala hal yang bukan menjadi prioritas.

Seperti tempo lalu. Ia memang akan membantu mamanya masak, tapi bukan berarti mamanya tidak bisa menunggu. Bahkan, mamanya sama sekali tidak menuntut Laras harus pulang tepat waktu. Semisal ada urusan penting, sang mama akan mengerti dan masak seorang diri.

Ya, semua itu demi menghindari Bara.

Hanya saja kali ini berbeda. Terlebih setelah diskusinya dengan Jannah dua hari lalu.

"Great! Langsung ke ruangan saya aja ya?"

Mengangguk, Laras lantas mengikuti Bara yang terlebih dulu berlalu meninggalkan ruang makan. Melihat kedua punggung tersebut telah menjauh, Jannah menyunggingkan senyum kepuasan.

Meera yang sejak tadi mengamati kejanggalan pun lantas bersuara, "Kak Jan? Aku ketinggalan sesuatu?"

Dan Jannah mengungkapkan rencananya. Sebuah tujuan yang membuat Meera ingin turut bergabung tanpa berpikir dua kali. Sudah seharusnya, batin gadis itu.

"I'm in."

Jannah menyeringai. "Good."

***

"Jadi, kira-kira siapa yang cocok meranin karakter Bima?"

"Ng ..." Laras menerawang sekaligus mengamati ruang kerja Bara yang cukup luas. Tidak hanya terdapat meja kerja dengan iMac di atasnya, tetapi juga sofa yang membentuk huruf L yang kini tengah Laras tempati. Sedangkan Bara, lelaki itu duduk pada kursi putar santai yang memudahkan ia memandang ke segala arah, terutama Laras. Jarak yang cukup jauh, tapi tetap membuat atmosfer di antara keduanya menghangat. "Maaf, saya kurang tahu aktor Indonesia."

Bara terkekeh mendengarnya. Entah mengapa pernyataan Laras terasa begitu lucu. Perempuan ini sepertinya benar-benar penyuka novel sejati sampai tidak akrab dengan perfilman. "Kalau aktris?"

Laras menggeleng. "Still no idea."

"Berarti soal pemain, terserah—"

"Kalau berkenan, boleh diskusi lagi sama saya dulu semisal udah ketemu yang cocok? Soalnya, takut nggak sesuai ekspektasi. Karena bagaimanapun, bayangan saya yang paling mendekati imajinasi pembaca," potong Laras, enggan mengambil risiko.

"Sure, Laras." Bara tersenyum manis. "Besok sebenarnya udah mulai meeting bahas pemeran, siapa yang cocok. Berhubung kamu di sini, saya pengin ngeyakinin dulu. Tapi kamu benar-benar nggak punya contoh gitu? Atau artis Korea mungkin? Biar kita cari kecocokannya. Siapa tahu ada yang mirip."

00:00 (a New Beginning) #1Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang