Twelve | 07:00

11.5K 2.2K 105
                                    

"Ada yang wangi semerbak, tapi bukan dupa." Meera melirik abangnya yang tengah menuruni tangga. Jarak ruang tamu tempatnya dan Jannah duduk berhadapan kini cukup berjarak dari posisi lelaki itu, tapi harum tubuh Bara sudah tercium dan mengalahkan aroma scented candles di atas meja kopi.

Jannah yang sejak tadi mengawasi Azka—yang sedang duduk anteng sambil menonton video Youtube for Kids pada iPad milik bundanya—lantas ikut menoleh. "Mau ke mana, Bar?"

"Vaksin," jawab Bara usai menuruni anak tangga paling akhir. "Mama sama Papa belum ada kabar kapan pulang ke rumah?"

Sudah memasuki minggu kedua orang tuanya terjebak karantina di hotel terdekat bandara (bandar udara) sepulangnya dari Amerika. Menurut informasi yang telah Bara cari tahu, kasus di sana memang tengah meningkat angka penularannya. Bara hanya bisa berharap dan berdoa pada Tuhan agar seluruh keluarganya selalu terbebas dari virus mendunia ini.

"Belumlah. Kan, nunggu genap dua minggu. Bisa lebih malah." Jannah kemudian mengibaskan tangan. "Udah, nggak usah dipikirin. Mama sama Papa pasti baik-baik aja. Nggak perlu bingung. Entar malah turun imun kita kalau terlalu mikirin."

"Betul!" Meera manggut-manggut. Rambut berwarna merahnya berayun seiring kepala itu bergerak.

Tunggu! Merah?

"Lho, kamu warnain rambut?" Sebelah alis Bara menukik. Sedikit tidak suka dengan fakta tersebut karena jujur saja, warna rambut asli adiknya itu sudah sangatlah indah.

"Iya. Bagus, kan?" Meera mengulum senyum dan berkedip-kedip centil. "Biar serasi sama nama."

Bara menghela napas. "Mas nggak suka."

"Nggak ada yang nyuruh Mas suka!" sergah Meera sambil melotot penuh. Bara sampai takut bola mata gadis itu copot. "Dasar nggak gaul!"

Baru Bara ingin merespons, Jannah terlebih dulu menghentikan pertengkaran kecil itu dengan mengalihkan pembicaraan. "Nggak sarapan dulu? Ini baru jam 7. Bukannya jadwal vaksin jam 8?"

"Justru karena udah jam segitu." Bara melirik arloji di tangannya. "Gue janji mau jemput Laras jam 7.30 soalnya," ujarnya, tidak sepenuhnya benar.

Bara memang berjanji pada Laras untuk menjemput perempuan itu, tetapi tidak ada kesepakatan di antara mereka harus pukul berapa Bara datang. Meski begitu, Bara tidak mau membuat Laras menunggu! Apalagi ia berencana untuk mengajak Laras sarapan dulu.

Ah, memikirkan Laras menunggunya membuat pipi Bara memanas. Sial! Untung saja ia sudah pakai masker! Kalau tidak, pasti Jannah atau Meera akan menggodanya habis-habisan.

"Oh, pantesan wangi banget. Vaksinnya sambil nge-date." Meera tersenyum mengejek. "Anti mainstream sih, tapi nggak romantis banget, you know!"

"Biarin aja, yang penting ada tindakan." Bara tidak mau kalah. "Ya udah, Mas berangkat dulu. Doain berhasil."

"Udah kayak anak SD pas mau UN aja omongannya." Meera terkikik geli.

"Diem." Bara berdecak, lantas menghampiri Azka dan menjawil pipi mulus bocah itu. "Om pergi dulu ya. Azka mau nitip sesuatu nggak nanti?"

Azka hanya bergeming. Terlalu fokus dengan karakter monyet 2D yang tengah menyanyikan "Monkey Banana" pada layar tablet sang bunda, bocah itu sampai tidak sadar jika Bara tengah menunggu jawabannya. Jangankan membuka mulut, bereaksi akan sentuhannya saja tidak!

"Unch, kalah sama monyet," ledek Meera dengan tawa yang semakin berderai.

***

"Pagi, Laras." Bara memamerkan senyumnya yang memesona. Kali ini, lelaki itu tidak lupa untuk melepaskan masker dari wajahnya terlebih dulu. "Udah sarapan?"

"Udah. Tadi makan roti dulu," jawab Laras begitu dirinya telah duduk manis di samping kemudi dengan seat belt yang terpasang sempurna.

"Saya belum."

Laras kontan menoleh, terkejut mendengarnya. "Lho, kenapa? Bukannya kalau mau vaksin, perut nggak boleh kosong?"

"Tadi takut kamu nunggu kelamaan."

Mendengarnya, Laras pun meringis karena merasa bersalah. "Duh, maaf. Tahu gitu saya berangkat sendiri—"

"Eh, bukan gitu maksudnya. Saya emang berniat sarapan di luar." Bara menggaruk pelipisnya yang tidak gatal sama sekali. "Kamu keberatan nggak kalau nemenin saya dulu?"

"Oh, nggak kok. Sama sekali nggak masalah." Laras tersenyum. Terlihat dari kedua matanya yang menyipit. "Saya juga baru ngisi perut sedikit."

Senyum Bara mengembang, menampilkan deretan giginya yang berbaris rapi. "Great! Kita sarapan bareng dulu ya kalau begitu?"

Laras mengangguk. "Kamu suka nasi uduk?"

Bara mengerjap-ngerjap. "Gimana?" tanyanya, memastikan pendengarannya tidak keliru.

"Nasi uduk." Sekali lagi, kedua mata bundar yang dihiasi bulu mata panjang nan lentik itu menyipit. Membuat Bara gemas ingin menarik turun masker Laras untuk menikmati senyuman manisnya. "Di dekat perumahan saya ada yang jual. Enak. Kamu mau?"

Bara segera menutupi rasa kecewa pada ekspresinya dengan senyuman. Sesungguhnya, ia ingin membawa Laras sarapan di Monolog. Pilihan menu "monolog big morning" saat ini sangat cocok dengan suasana hatinya. Namun, sepertinya ia harus mengalah.

Demi kenyamanan sang pujaan hati.

"Ah, okay." Bara memaklumi. "Kalau gitu, tolong arahin saya ya, Laras."

***

Tidak butuh waktu lama bagi Hyundai Palisade hitam milik Bara mengantarkan keduanya ke tempat tujuan pertama.

Saat Laras tengah memesan, lelaki itu sibuk mencari bangku yang kosong. Tapi tidak ada! Benar-benar ramai dan nyaris membentuk kerumunan. Bara sampai khawatir melihatnya.

"Maaf, Bara. Kamu pakai telur bulat balado, atau telur dadar aja?"

Suara lembut Laras lantas kembali mengalihkan perhatian Bara pada perempuan itu. "Kalau kamu?"

"Aku—maksudnya, saya dadar."

Sudut bibir Bara sontak berkedut, tidak tahan mengulas senyum manis meskipun Laras tidak dapat melihatnya. Memikirkan ia dan Laras akan berbicara "aku-kamu" sekarang membuat jantung Bara berdebar. "Aku dadar juga. Samain kayak kamu," jawab Bara, sekaligus menuntun Laras untuk terbiasa berbicara nonformal dengannya.

Bukan hanya Bara yang berdebar. Laras juga tengah berupaya menormalkan debaran di dada saat lelaki itu menunduk. Menyejajarkan telinganya dengan mulut Laras di balik masker 5 plynya. Posisi tersebut membuat indra penciuman Laras dibelai lebih dalam oleh aroma maskulin Bara yang mungkin membuat perempuan mana pun ingin berdekatan dengan sosok menjulang di sampingnya.

"Oh iya, Laras. Nanti kita makannya di mobil aku aja ya?"

"Eh, nggak apa-apa?" Laras menelengkan kepala. "Nanti mobil kamu bau nasi uduk," lanjutnya, berbisik. Takut sang penjual akan tersinggung jika mendengarnya.

"It's okay. Aroma nasi uduknya enak kok. Nggak mengganggu."

Laras hanya mengangguk. Diam-diam ia menghela napas lega. Kenyataan bahwa harum nasi uduk yang akan mendominasi atmosfer mobil Bara membuat Laras lebih tenang. Setidaknya, wangi nasi uduk tidak menimbulkan debaran aneh padanya.

Laras tahu, sangat tahu bahwa reaksi tubuhnya sangatlah salah. Tidak seharusnya ia merasa demikian. Namun, untuk saat ini ia membiarkannya. Ia biarkan dirinya mengikuti alur sang takdir seolah tidak ada apa pun yang terjadi.

*

Author's Note:
Bacalah selagi "On Going" di Wattpad. Cerita ini sudah TAMAT dan lengkap di KaryaKarsa (@ Junieloo).
Untuk informasi selengkapnya, baca bab "Info Penting" sebelum PROLOGUE, ya.

Thank uLove uSee u

00:00 (a New Beginning) #1Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang