Desa Padasuka, Bogor.
Di balik jendela mobil, Altha menatap sendu jalanan. Akhirnya Altha pasrah untuk tinggal di Pesantren pilihan Rafi. Bukan karena ingin melupakan semua kenangan dengan Anya di Jakarta, tetapi ia sangat takut jika Rafi memang benar-benar akan menyembelih Konda.
Altha mengeratkan jaketnya ketika mobil yang di kendarai Rafi mulai masuk ke salah satu pedesaan di Bogor. Udara dinginnya mampu menembus pakaian hangat Altha, tetapi tidak dapat menghapus semua rasa rindu yang Altha rasa.
Menatap luasnya hamparan langit yang mulai memamerkan semburat cahaya jingga, butiran hangat mulai menetes di pelupuk mata Altha. Seketika bayangan Anya terus menghantui dirinya.
Tawa Anya yang renyah, gigi gingsul Anya yang selalu menjadi pemanis senyumnya, tingkah lucu Anya dan keceriaan gadis itu selalu ia rindukan. Sungguh, Altha sangat merindukan semua yang ada pada diri Anya.
Altha merogoh saku jaket dan mengeluarkan sesuatu dari dompet hitamnya. Sebuah foto usang yang selalu Altha simpan sejak pertama dia dan Anya menjadi sepasang kekasih. Sudah lima tahun lamanya.
"Lo dimana, Nya? Gue rindu," lirih Altha serak, "Maafin gue."
Tepat ketika mobil yang Rafi kendarai memasuki kawasan Pesantren, Azan Magrib berkumandang. Altha dapat melihat seluruh santri dan santriwati yang sedang bergegas memasuki Masjid dengan mendekap Al-Qur'an dan beberapa buku tulis.
"Turun, Al," suruh Rafi setelah menghentikan mobilnya. Altha memutar bola mata malas, kembali memasukkan foto yang dari tadi ia pandang ke dalam dompetnya.
Menghela napas pasrah, Altha terpaksa turun. Merapikan rambutnya yang sedikit berantakan, Altha membawa koper berisi pakaian, Al-Qur'an dan buku-buku yang sudah dikemas Bi Butet tadi siang.
Baru lima langkah mereka berjalan, seorang pria paruh baya berpakaian layaknya seorang Kyai menghampiri mereka dengan senyuman yang merekah.
"Assalamu'alaikum," sapa Rafi hangat lalu menjabat tangan pria paruh baya itu.
"Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh, Rafi, kapan kalian tiba?"
"Kami baru saja tiba," jawab Rafi hangat.
Pria paruh baya itu menatap Altha dan mengembangkan senyuman hangat, sedangkan Altha hanya membalasnya dengan senyum malas. Baru saja tiba, Altha sudah merasa tidak betah.
"Altha, yang sopan sama Pak Kyai," tegur Mira setengah berbisik. Rafi pun ikut melotot pada Altha, ia merasa tidak enak pada Pak Kyai karena sikap Altha yang tidak sopan.
"Tak apa, Fi, namanya juga anak muda," ucap Pak Kyai mencairkan suasana.
Rafi tersenyum canggung, menyenggol lengan Altha dan menyuruhnya untuk menyalami tangan Pak Kyai. Lagi-lagi Altha memutar bola matanya malas, tetapi ia tidak bisa menolak. Altha menghampiri Pak Kyai dan menyalami tangannya.
"Siapa nama mu, Nak?" tanya Pak Kyai.
"Altha Adipati Aswad," jawab Altha malas.
"Baiklah, sebelum mengobrol alangkah baiknya jika kita Salat Magrib terlebih dulu," ajak Pak Kyai.
=====
Selepas Salat Magrib, Altha harus mendengarkan materi ceramah Pak Kyai sampai Isya. Altha mengacak rambutnya frustrasi karena terlalu bosan. Rafi yang melihat tingkah Altha segera mencubit pinggang putranya, meminta Altha untuk memperhatikan Pak Kyai.
"Altha ngantuk, Pi," keluh Altha.
"Duduk di Masjid aja ngantuk, tapi foya-foya di bar sampai Subuh nggak pernah ngeluh ngantuk," sindir Rafi.
"Itu beda lagi, Pi," sanggah Altha.
"Udah diam! Setelah Isya kita akan membicarakan perpindahan kamu ke sini!"
Altha mengembuskan napas berat. Dengan berat hati ia tetap duduk dan menyimak ceramah Pak Kyai. Sesekali ia menunduk agar tidak ada yang melihat bahwa dirinya sedang tertidur.
Hampir satu jam Pak Kyai ceramah. Altha pun sudah setengah sadar. Dari tadi ia tertidur dengan posisi duduk dan kepala yang semakin menunduk. Sayup-sayup ia dapat mendengar suara Pak Kyai, tetapi ia tidak tahu materi apa yang Pak Kyai sampaikan.
Pak Kyai mengakhiri ceramahnya saat waktu Isya tiba. Meminta salah satu santri untuk mengumandangkan Azan. Mata Altha langsung terbuka sempurna saat merasakan pinggangnya perih karena cubitan Rafi.
"Aw, sakit, Pi," ringis Altha.
"Belum apa-apa udah nakal!" tegur Rafi.
"Altha nakal kenapa, Pi?"
"Dari tadi kamu tidur, 'kan?" tukas Rafi melotot.
"Altha tidur karena ngantuk, Pi, bukan nakal," kilah Altha.
Rafi kembali mencubit pinggang Altha lebih keras. Berharap bahwa Altha yang tengil bisa jera dan berubah. Altha hanya meringis sambil mengusap pinggangnya yang mungkin sudah merah karena cubitan maut dari Rafi.
"Wudu, gih," suruh Rafi.
"Altha nggak tidur nyenyak, Pi, masih sadar dan bisa dengar ceramah Pak Kyai," timpal Altha mengucek matanya.
Rafi menjitak kepala Altha, meremas bahu Sang Putra dengan gemas lalu mendekatkan bibirnya pada telinga Altha. Rafi hendak berbisik.
"Kamu bisa dengar Pak Kyai ceramah?"
Altha mengangguk antusias.
"Tapi kamu nggak sadar kalo tadi kamu tiga kali kentut!"
=====
Altha merasakan setiap hembusan angin malam yang menyapa tubuhnya. Kenangan masa lalu kembali mengusik jiwa. Jika saja ia bisa membeli waktu, Altha akan membeli semua waktu dan menghabiskannya untuk mengukir kisah kasihnya bersama Anya.
Namun, semua itu hanya akara belaka yang terus bersarang dalam benaknya. Kenangan dan harapan sama sekali tidak turut berlalu dengan hembusan angin malam yang menusuk pada setiap sendinya. Altha mengembuskan napas berat, mengusap wajahnya dengan kasar.
Hayya 'alal falaah.
Sang Muadzin telah mengajak para umat muslim untuk meraih kemenangan, tetapi Altha masih belum mengambil air wudu. Ia masih betah menghirup udara dingin malam hari yang jarang ia temukan di Kota Jakarta yang penuh polusi.
Duk!
Terlalu asyik memandang kerlap kerlip bintang di tengah hamparan langit, Altha sampai tidak sengaja menabrak seorang santriwati yang sedang berjalan hingga buku dan kitab yang ia bawa jatuh berantakan.
Altha menundukkan kepala, netranya beralih pada seorang gadis berbalut kerudung biru yang sedang berjongkok sambil memunguti satu per satu buku dan kitab yang jatuh.
Altha menatap gadis itu dengan lekat, bahkan ia sampai memiringkan kepalanya untuk bisa memperhatikan wajah gadis itu dengan jelas. Mata Altha terbuka lebar ketika wajah gadis itu terlihat jelas.
Sungguh, Altha tidak percaya ini!
Altha mengucek matanya, memastikan bahwa penglihatannya tidak salah. Merasa takut ini adalah mimpi, Altha menampar pipi bahkan mencubit lengannya sendiri karena mengingat bahwa tadi ia sempat tidur saat Pak Kyai menyampaikan ceramahnya.
Namun, ia tidak sedang bermimpi. Gadis berkerudung biru itu adalah seseorang yang tiga tahun ini Altha cari dan selalu Altha rindukan.
Itu adalah Anya!
"Anya?"
¤¤¤¤¤
#writingmarathon bersama redaksisalam_ped
KAMU SEDANG MEMBACA
Hai, Mantan. Hijrah, Yuk!
Teen FictionSetiap orang pasti memiliki masa lalu. Terang atau kelam, kita tidak bisa lari. Karena hari yang sekarang sedang kau jalani pun akan menjadi masa lalu di masa yang akan datang. Jika masa lalu mu terang, maka sekarang kau harus membuatnya lebih ter...