Setelah sampai di kamarnya, Anya segera menyimpan buku dan kitab pada tempatnya. Kemudian, ia menjatuhkan tubuhnya ke atas kasur dan menenggelamkan kepalanya pada bantal. Ia menangis sejadi-jadinya.
Tiga tahun bukanlah waktu yang sebentar. Apalagi bagi Anya yang selalu berusaha melupakan Altha. Terasa sesak ketika mengingat kejadian malam itu. Namun, sangat sulit juga baginya untuk bisa melupakan Altha.
"Kenapa lo malah balik lagi ke hidup gue sih, Al?" lirih Anya. Air matanya semakin mengalir deras. Menahan perutnya yang semakin terasa nyeri, ia meremas bantalnya dengan keras. Merasa sudah tidak tahan lagi, Anya melemparkan bantal yang dipeluknya ke sembarang arah.
Buk!
"Alamak! Apa yang kau lakukan!" teriak Gia di ambang pintu. Anya segera mendudukkan tubuhnya dan menghadap Gia yang sudah berkacak pinggang.
Tidak mau ikut campur, Safia dan Firli langsung merapikan buku dan merebahkan diri di kasur mereka. Sedangkan Gia menghampiri Anya yang sedang mengusap air matanya.
"Bantal yang kau lempar kena muka ku, Anya!"
"Maaf," ucap Anya pasrah. Biasanya ia selalu berdebat dengan Gia, tetapi untuk saat ini ia tidak ingin memperpanjang masalah. Toh, itu memang salahnya.
"Tanggung jawab kau!" tuntut Gia.
"Tanggung jawab apa, Gi? Muka lo tetap sama enggak berubah!"
"Tapi muka ku sakit, Anya!"
Anya mengembuskan napasnya kasar, kemudian menatap Gia dengan kesal. Ia tidak habis pikir dengan Gia yang selalu saja mengajaknya adu mulut.
"Udahlah, Gi, gue lagi males debat!" sentak Anya dengan suara parau. Safia dan Firli yang sudah hampir terlelap kembali terbangun karena suara Anya. Mereka tahu jika sedang haid, mood Anya selalu buruk. Namun, mereka tidak pernah mengira bahwa sekarang mood Anya lebih buruk dari biasanya.
"Udah atuh, Teh, kasian Teh Anya udah nangis," lerai Firli menghampiri Gia. Sedangkan Safia menghampiri Anya dan menenangkannya.
Gia menghela napas pasrah, melihat ekspresi Anya sekarang membuatnya mengalah. Perdebatan mereka memang selalu berujung tawa, tetapi untuk kali ini Gia harus mengerti. Tidak semua orang yang selalu ceria seperti Anya akan merasa baik-baik saja.
"Maafkan aku, Nya," ucap Gia tulus. "Aku tadi hanya ingin bercanda saja dengan kau, tapi ternyata keadaan kau sedang tidak mendukung."
Anya tidak menggubris perkataan Gia. Ia meraih bantal yang tadi dilempar lalu kembali merebahkan tubuhnya di atas kasur.
Tidak ingin menyerah, Gia pun mengikuti Anya dan duduk di sebelah kasur Anya. Ia merasa bersalah karena sudah membentak Anya.
"Ayolah, Nya, kau maafkan aku," pinta Gia memohon.
"Tiba-tiba gue cape, Gi," lirih Anya.
"Teh Anya ada masalah?" tanya Firli yang mulai menghampiri Anya disusul oleh Safia.
"Kalo anti ada masalah, coba cerita, Nya," ujar Safia. "Bukannya kita udah seperti keluarga?"
Anya menggeleng pelan. Ia enggan untuk bercerita. Apalagi ini berhubungan dengan masa lalunya. Pasti sepanjang ia cerita, hatinya akan kembali teriris pedih.
"Gue mau tidur," ucap Anya. "Gi, lo matiin lampunya, ya."
Setelah itu Anya menyelimuti dirinya dan terisak dalam selimut. Karena waktu sudah malam, akhirnya ketiga temannya pun memutuskan untuk ikut tidur. Sebelum tidur, Gia mematikan lampu terlebih dulu.
Tiga puluh menit setelah memastikan ketiga temannya sudah terlelap, Anya mendudukkan dirinya. Menatap ke arah jendela yang gordennya belum tertutup, mungkin Gia lupa.
Anya beranjak untuk menutup gorden, tetapi pemandangan langit malam ini mengurungkan niatnya. Ia malah membuka jendela sehingga angin malam menerpa wajahnya.
"Maafin gue, Nya." Tiba-tiba saja Altha sudah berada di hadapannya. Anya tersentak bukan main ketika tangannya digenggam oleh Altha. Entah mengapa ia tidak bisa menepis tangan Altha dan menghindarinya.
"Gue sayang banget sama lo, Nya, maaf," ucap Altha tulus. Ia mengusap kepala Anya dengan tangan lainnya. Sedangkan Anya hanya bisa menunduk sambil menangis.
"Kenapa lo tega, Al," lirih Anya.
"Gue minta maaf, gue kesini cuma mau cari lo," ungkap Altha. "Jadi, lo maafin gue, ya."
Akhirnya Anya mengangguk. Bagaimana pun juga ia masih sangat menyayangi Altha. Ia juga tidak ingin terlalu menyimpan luka dengan terus-menerus berusaha membenci orang yang tidak bisa ia benci.
Altha mengeratkan genggamannya begitu pun dengan Anya. Mata mereka saling bertemu. Di bawah sinarnya cahaya bulan, mereka seakan kembali merajut kisah cintanya.
Namun, tiba-tiba mata Altha menangkap seorang gadis dengan balutan kerudung hitam yang sedang tertidur pulas. Ia memandang gadis itu dengan berbinar seolah gadis itu adalah bidadari.
"Anya," panggil Altha.
"Kenapa, Al?"
"Itu siapa? Cantik banget," puji Altha.
Anya mengalihkan pandangannya pada gadis yang ditunjuk Altha. Ternyata itu Firli. Dengan keras Anya mencubit lengan Altha dan menampar pipinya hingga Altha meringis. Bisa-bisanya ia memuji gadis lain selain dirinya.
"Maksud lo apa?" tanya Anya sewot.
"Dia beneran cantik, Nya, gue suka."
Anya melotot, menyesal ia memaafkan Altha. Ia menjambak rambut Altha dan mencakar mukanya karena kesal. Anya sangat kesal sekarang. Rasanya ia ingin membunuh Altha saat ini juga.
"Pergi lo! Dasar cowok brengsek! Gue benci sama lo!"
"Nya, apa salah gue? Dia beneran cantik, 'kan?"
Anya semakin menggeram kesal. Ia pun melemparkan apa saja yang bisa menyakiti Altha. Sedangkan tangan satunya masih menjambak rambut Altha.
"Jahat lo, Al! Pokoknya gue mau bunuh lo sekarang juga!"
"Anya!" teriakan Gia tidak membuat emosi Anya mereda. Ia terus saja menjambak rambut Altha dan mencakar wajah lelaki itu. Anya seperti orang kesurupan.
"Udah, Nya," lerai Gia menahan kedua tangan Anya sedangkan Altha sudah lari karena takut mukanya semakin hancur dicakar Anya.
"Jangan kabur lo, Al!" teriak Anya. "Dasar cowok sialan!"
"Anya, bangun! Ini sudah jam tiga!"
Tiba-tiba Anya terbangun dari tidurnya. Ia menatap ketiga temannya yang terlihat khawatir. Setelah menyadari bahwa kejadian tadi hanya mimpi, akhirnya ia bisa bernapas lega.
"Teh Anya kenapa?" tanya Firli. Mendengar suara itu, Anya menjadi geram sendiri. Ia jadi takut jika Altha dan Firli bertemu.
"Gue mau ke toilet." Anya beranjak dari tempat tidurnya. Ia rasa sekarang dirinya harus berwudu agar kembali tenang.
"Kau tidak ikut bimbingan di aula, Anya?" tanya Gia setengah berteriak. "Bukannya itu sudah peraturan untuk akhwat yang sedang haid?"
"Gue harus ke toilet dulu buat ganti!" balas Anya ketika baru satu langkah keluar kamar. Ia enggan menatap wajah Firli, takut kesal dengan orang yang tidak bersalah, katanya.
"Awas lo, Al!"
¤¤¤¤¤
#writingmarathon bersama redaksisalam_ped
KAMU SEDANG MEMBACA
Hai, Mantan. Hijrah, Yuk!
Teen FictionSetiap orang pasti memiliki masa lalu. Terang atau kelam, kita tidak bisa lari. Karena hari yang sekarang sedang kau jalani pun akan menjadi masa lalu di masa yang akan datang. Jika masa lalu mu terang, maka sekarang kau harus membuatnya lebih ter...