Bab 27 - Sebuah Jawaban

3 2 0
                                    

Detik tidak pernah berhenti berdetak. Hari demi hari silih berganti, minggu demi minggu telah terlewati. Sudah genap enam bulan Altha menjadi penuntut ilmu di Pondok Pesantren Darussalam. Semakin hari ia semakin menunjukkan kualitas keimanannya. Sudah tidak pernah lagi ia bermalas-malasan. Ia juga sudah mulai membiasakan diri untuk menjaga pandangan. Bahkan, perlahan rasa tidak sukanya pada Ustadz Hanif telah sirna.

Perubahan Altha membawa dampak baik untuk Alfin dan Algi. Mereka berdua yang biasanya mengajak Altha untuk berbuat nakal, kini sudah banyak berubah dan selalu berusaha untuk menjadi manusia paling baik di hadapan Allah.

Arif sudah menikah lima bulan lalu dan sekarang Firli baru satu bulan mengandung. Semenjak menikah Firli jarang sekali mengikuti jadwal di Pesantren selain kajian rutin. Meski begitu, Arif tidak pernah melewatkan satu ilmu pun untuk disampaikan pada istrinya. Setiap pulang mengaji ia selalu berbagi ilmu dengan Firli.

"Cepat, Al! Nanti kehabisan tempat duduk!" desak Algi dari luar kamar. Hari ini seluruh santri dan para guru Pesantren Darussalam akan pergi liburan ke Jakarta. Altha dari tadi sibuk mencari sepatunya. Ingin memakai yang lain, tetapi hanya itu satu-satunya alas kaki setelah beberapa hari lalu sandalnya hilang entah kemana.

"Cepat atuh, meni lama pisan!" keluh Alfin sudah tidak sabar. Setelah menunggu hampir sepuluh menit, akhirnya Altha keluar. Dengan sepatu warna abu yang serasi dengan kokonya.

"Alah, kasep kieu!" Sebuah kalimat yang seharusnya berisi pujian tetapi terdengar seperti ejekan.

(Tampan begini)

Altha menggelengkan kepala sebelum akhirnya dia mengunci kamar dan berjalan lebih dulu. Alfin dan Algi hanya bisa menghela napas pasrah menghadapi sikap Altha yang enam bulan terakhir ini sangat irit bicara.

Altha memasuki bis dan segera mencari kursi yang kosong. Para santri lainnya sudah mendapatkan tempat duduk sejak tadi. Hanya Altha dan kedua temannya yang baru masuk. Setelah matanya melihat kursi kosong di barisan paling belakang, mereka bertiga segera duduk di sana. Alfin dan Algi duduk satu bangku, sedangkan Altha hanya duduk sendiri.

"Sebelum berangkat, alangkah baiknya kita berdoa terlebih dulu." Ustadz Rayan memberi intruksi yang langsung dituruti oleh para santri.

"Bismillahi majrehaa wa mursahaa. Dengan menyebut nama Allah pada waktu berlayar dan berlabuhnya." Para santri berdoa dengan serentak. Setelah berdoa, perlahan bis mulai melaju meninggalkan pekarangan Pondok yang beberapa jam lagi akan kembali ramai dengan pulangnya seluruh santri.

(Doa naik kendaraan : Q.S Hud/11:41)

¤¤¤¤¤

Mata Anya mulai terpejam kala bis mulai melaju. Sebentar lagi ia akan kembali menginjakkan kaki di Kota yang sempat menorehkan luka di hatinya. Namun, itu bukan masalah lagi baginya. Sekarang ia sudah membuka halaman baru yang jauh lebih baik dari halaman sebelumnya.

Tangannya mulai meraih liontin yang sampai saat ini masih mengalung di lehernya. Sudah enam bulan dia tidak pernah saling bertegur sapa lagi dengan Altha. Tanpa sengaja bertemu pun Altha suka menunduk dan melewatinya begitu saja. Ada rasa nyeri melihat Altha yang tidak ingin lagi memandangnya, tetapi rasa bahagianya lebih besar melihat perubahan Altha yang kian hari kian membaik.

"Teh Anya."

Refleks mata Anya terbuka mendengar suara Firli yang ada di sampingnya. Ia kaget bukan main melihat wajah Firli di hadapannya. Tadi waktu naik ia duduk bersama Gia, bukan Firli.

Hai, Mantan. Hijrah, Yuk!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang