Melamun. Itu yang dilakukan Anya setelah tanpa sengaja ia melihat air mata yang menggenang di pelupuk mata Altha setelah kalimat terakhir ia ucapkan.
Rasanya sangat sesak melihat Altha yang pergi begitu saja tanpa mengucapkan satu patah kata pun. Pada dasarnya Altha memang memiliki sifat cengeng dan manja. Pernah waktu itu Altha pergi dari rumah dan mengadu padanya sambil menangis ia bercerita bahwa Rafi baru saja memarahinya karena ia tidak sengaja melepaskan burung kenari kesayangan sang Papi. Anya tertawa gemas mendengarnya.
"Astagfirullah, Anya! Ada apa dengan muka kau? Kenapa pucat sekali?" Gia berteriak heboh saat melihat Anya terduduk lemas di lantai kamar mandi. Santriwati lainnya segera mengerumuni Anya. Ada yang menatapnya iba karena keadaan Anya sekarang terlihat memprihatinkan. Ada pula yang diam-diam menahan tawa melihat kardus yang dikalungkan di leher Anya.
"Suhu tubuh Teh Anya panas, sepertinya dia demam." Firli ikut cemas setelah punggung tangannya menempel di dahi Anya.
Ditengah kerumunan, Ustadzah Rifa menghampiri. Memeriksa ada apa dibalik para santriwati yang tengah berkerumun.
"Ada apa ini?" tanya Ustadzah Rifa.
"Teh Gia sakit, Ustadzah," jawab Firli masih terdengar cemas.
"Astagfirullah, coba bantu bawa ke kamar dan rawat di sana aja." Raut garang Ustadzah Rifa seketika hilang berganti dengan kekhawatiran. Bagaimana pun juga yang tadi dilakukannya agar tidak ada lagi santri yang lalai.
"Mari Ustadzah bantu Anya berdiri." Ustadzah Rifa merangkul Anya dan membantunya berdiri. Tatapan Anya masih tetap kosong. Dinginnya udara sama sekali tidak terasa olehnya. Bahkan rasa sakit tiada terkira yang tadi dirasanya hilang begitu saja.
Baru saja Ustadzah Rifa memapah Anya untuk berjalan, tubuh gadis itu sudah ambruk. Keadaan toilet akhwat menjadi riuh karena cemas dengan keadaan Anya.
"Tolong jangan ribut! Sekarang kita bantu angkat tubuh Anya ke kamar," ujar Ustadzah Rifa dengan tegas. Beberapa santriwati membantu termasuk teman satu kamarnya. Santriwati yang lainnya segera melaksanakan wudu atas perintah Ustadzah Rifa.
Sudah hampir lima menit Anya tidak sadarkan diri. Selain Ustadzah Rifa, di kamarnya sekarang sudah ada Ustadzah Hani juga Ummi, istrinya Pak Kyai.
"Apa saya salah menghukum dia pas lagi sakit?" Ustadzah Rifa bertanya dengan perasaan bersalah.
"Ustadzah Rifa enggak salah karena ingin mendidik, hanya saja kondisi Anya sedang tidak mendukung."
Ditengah kecemasan mereka, perlahan mata Anya terbuka. Memanggil Ustadzah Hani dengan suara yang sangat lirih. Bukan hanya Ustadzah Hani yang menoleh, Ummi dan Ustadzah Rifa pun ikut menoleh dengan perasaan lega.
"Alhamdulillah, Anya sudah siuman?" Ustadzah Hani memeluk hangat tubuh Anya. Dia memang sangat dekat dengan Anya. Selalu memberi nasehat dan mendengarkan curahan hati Anya.
"Maafkan Ustadzah karena sudah menghukum kamu, Anya," ucap Ustadzah Rifa juga mendekati Anya.
"Ustadzah enggak salah, saya yang salah karena tidak memperhatikan Ustadzah." Anya menggeleng lemah.
"Kenapa kamu tidak cerita kalo sedang sakit? Kami semua cemas, Anya." Ummi yang dari tadi hanya diam ikut mengangkat suara. Anya tertunduk, meminta maaf karena telah membuat cemas.
"Kamu kenapa bisa sakit? Pasti kedinginan karena hukuman Ustadzah, ya?" Tangan lembut Ustadzah Rifa menggenggam tangan Anya.
"Eh, enggak Ustadzah. Sejak malam badan saya memang kurang enak."
"Kenapa enggak cerita?"
Anya menggigit bibirnya guna menahan tangis. Kepalanya menunduk agar mereka tidak dapat melihat matanya yang mulai berkaca-kaca.
"Saya sudah terlanjur sakit, Ustadzah."
¤¤¤¤¤
Menjelang Shubuh, Arif berniat untuk menyusul Altha yang belum kembali. Namun, ia tidak melihat Altha meskipun hanya sebatas batang hidungnya. Ia mencari ke kamar pun tetap tidak ada. Karena Arif masih memiliki wudhu bekas tahajjud tadi akhirnya ia memutuskan untuk langsung pergi ke Masjid.
Arif berjalan seorang diri karena Alfin dan Algi pergi ke toilet untuk kembali berwudhu. Tadi tanpa sengaja Alfin tertidur sejenak, sedangkan Algi telah buang angin setelah materi selesai.
Di kejauhan Arif sudah bisa melihat seorang santri sedang terduduk sendu di teras Masjid. Tidak salah lagi, itu adalah Altha. Dengan segera Arif mempercepat langkahnya.
"Kang Altha nangis?"
Altha segera menghapus air mata yang menggenang di pelupuk matanya. Bibirnya ia paksa untuk tersenyum. Kepalanya ia gelengkan dengan antusias, meyakinkan Arif bahwa ia baik-baik saja.
"Mata gue kemasukan upil, jadinya perih." Altha mengucek matanya sambil tertawa hambar. Arif tidak mudah dibohongi. Ia tahu Altha sedang menangis.
"Kenapa Kang Altha harus berbohong? Takut dikatain manja? Takut diledekin cengeng?"
"Apa, sih, Rif! Gue baik-baik aja, enggak nangis." Lagi lagi Altha mengelak.
"Saya tahu, Kang. Lagian, menangis itu bukan pertanda kalo kita cengeng atau lemah. Terkadang kita memang harus menangis jika itu diperlukan. Tapi, akan lebih baik jika air mata yang kita keluarkan karena menangisi dosa-dosa kita dan mengharap ampunan-Nya."
Altha terenyuh dengan penjelasan Arif. Matanya memanas sampai akhirnya butiran bening itu kembali mengalir membasahi pipinya. Arif yang melihat itu menepuk-nepuk bahu Altha dan menenangkannya.
"Kalo saya boleh tahu, Kang Altha menangis kenapa?"
Altha kembali mengusap matanya dan menatap nanar Arif. Kejadian tadi di toilet kembali terputar lancar di otaknya.
"Gue mau dapat ampunan Anya, Rif!"
¤¤¤¤¤
#writingmarathon bersama redaksisalam_ped
KAMU SEDANG MEMBACA
Hai, Mantan. Hijrah, Yuk!
Novela JuvenilSetiap orang pasti memiliki masa lalu. Terang atau kelam, kita tidak bisa lari. Karena hari yang sekarang sedang kau jalani pun akan menjadi masa lalu di masa yang akan datang. Jika masa lalu mu terang, maka sekarang kau harus membuatnya lebih ter...