Altha segera berlari kencang menuju masjid untuk menemui Ustadz Rayan. Hatinya terasa lebih gembira dari sebelumnya. Ia tidak berhenti tersenyum saat mengingat bahwa Anya sudah memaafkannya dan tersenyum untuknya. Sulit dipercaya jika hari ini sikap Anya sangat ramah padanya. Altha seolah dibuat kembali pada masa dimana dia dan Anya pertama bertemu.
Memang hari ini adalah hari yang baik untuknya. Baru saja sampai di Masjid Altha sudah di hadapkan dengan Ustadz Rayan yang baru keluar. Ia segera menghampiri dan menyalami tangannya. Melihat wajah antusias Altha, Ustadz Rayan segera duduk di teras. Tahu betul jika Altha ingin bercerita.
"Ada apa?" tanya Ustadz Rayan.
"Saya mau tanya, Ustadz." Altha menyahut sambil mendudukkan dirinya di hadapan Ustadz Rayan.
"Tanya apa?"
"Hijrah itu apa?"
Ustadz Rayan terdiam sesaat, tidak menduga jika Altha akan bertanya soal ini. Dari awal, Ustadz Rayan sangat ingin melihat Altha berubah karena ia tahu jika Altha terus berada di zonanya, maka Altha itu akan semakin tersiksa karena sulitnya menerima takdir.
"Hijrah memiliki arti berpindah dari suatu tempat ke tempat lain. Seperti Rasulullah yang hijrah dari Mekkah ke Madinah. Hijrah juga berarti meninggalkan, menjauhi atau memutuskan."
"Berpindah bagaimana, Ustadz?"
"Berpindah dari sesuatu yang diharamkan pada sesuatu yang dihalalkan oleh Allah, meninggalkan maksiat, menjauhi larangan-Nya dan memutuskan kebiasaan kita dari maksiat."
"Jadi intinya hijrah itu apa, Ustadz?"
"Proses peralihan diri dari ahli maksiat menjadi pribadi yang lebih taat dan menjauhi larangan Allah serta tunduk pada perintah-Nya."
Altha termenung, mencerna setiap kata yang terlontar dari Ustadz Rayan. Sekarang ia paham apa yang dimaksud dengan hijrah.
"Kalo ada orang yang mengajak kita hijrah, artinya apa, Ustadz?"
"Berarti orang itu tidak ingin kamu semakin terjerumus pada kemaksiatan. Orang itu ingin kamu berubah menjadi lebih baik dan berjalan menggapai rida Allah."
Senyum Altha semakin mengembang. Itu artinya Anya masih perduli padanya. Anya masih memperhatikan masa depannya sampai tidak ingin Altha terlena dengan tipuan dunia yang fana.
"Anya ngajak gue hijrah?"
¤¤¤¤¤
Alfin dan Algi tidak berhenti tertawa mendengar permintaan Altha yang ingin diajari berhijrah. Pasalnya lelaki itu sangat brutal luar dalam. Altha yang merasa tersinggung karena ditertawakan melempar mereka berdua dengan cangkir plastik.
Bukannya meringis kesakitan, mereka berdua malah semakin kencang tertawa. Senang sekali melihat raut kesal Altha. Amarah Altha sudah berada di ujung tanduk, ia segera menarik merah baju Alfin dan mencekik lehernya.
"Astaghfirullah, Kang Altha!" Untung Arif datang tepat waktu. Ia segera melerai dan menenangkan Altha. Sedangkan Alfin dan Algi malah menyengir tanpa merasa bersalah. Mereka segera meminta maaf atas dorongan Arif.
"Maafkan kami, Al, lagian permintaan kamu lucu." Alfin menjabat tangan Altha begitupun dengan Algi. Permintaan maaf mereka terdengar tulus meski menyebalkan.
"Apa lucunya gue minta diajari hijrah?" tanya Altha sinis, emosinya belum mereda.
"Karena kamu minta diajari sama kita, 'kan, kamu tahu kita juga nakal dan suka menyelundup ke asrama putri," ujar Algi sungguh-sungguh.
"Harusnya kamu minta diajari hijrah sama Arif, dia santri terbaik di sini." Alfin memberikan saran andalannya.
Altha memandang Arif, benar juga. Selama dia mengenal mereka bertiga hanya Arif yang selalu mengajaknya pada kebaikan. Sedangkan dua sejoli hanya mengajak dirinya pada keburukan sampai ia gundul karenanya.
"Rif, ajari gue hijrah."
"Kang Altha sudah memulainya, bukan?"
"Kapan?"
"Sejak Kang Altha mencari jalan keluar untuk lompat dari zona nyaman Kang Altha, itu artinya Kang Altha berniat untuk pindah dan meninggalkan zona kemaksiatan itu."
Setelah itu Arif berlalu dan mendekati lemarinya untuk mengambil buku. Ia ingin menulis sesuatu di sana. Algi memperhatikan Arif dengan prihatin, merasa kasihan dengan temannya yang menyukai wanita tetapi malu untuk berjuang.
"Terus sekarang gue harus ngapain lagi?" tanya Altha masih bingung.
"Mengamalkan perintahnya, menjauhi larangannya," jawab Arif tanpa melihat ke arah Altha.
"Gue perlu ngucap syahadat lagi enggak?"
Arif langsung menoleh, sedangkan Algi dan Alfin secara serentak menoyor kepala Altha.
"Kamu mau taubat, Al, bukan mau masuk Islam!" Alfin langsung menyahut dengan sewot, tidak habis pikir dengan jalan pikirnya Altha.
"Ternyata tinggal di kota tidak menjamin otaknya maju." Algi ikut meledek. Tangannya mengusap-usap bahu Altha.
"Baca aja, enggak ada larangan, kok. Apalagi kalo dulu Kang Altha tidak pernah Salat, bukankah yang menjadi pembeda antara orang kafir dan Islam adalah Salat?"
Dengan cepat Altha langsung menurut untuk syahadat. Arif menggelengkan kepalanya walaupun hatinya senang mendengar Altha ingin berubah. Kedua sejoli juga ikut geleng-geleng melihat Altha.
"Setelah itu apa lagi?" Altha bertanya lagi. Arif kembali menghampiri, meninggalkan alat tulisnya sebentar.
"Beramal, Kang."
Arif kembali keluar dari kamar. Altha menyusulnya dengan cepat. Alfin yang tidak ingin tertinggal untuk menyaksikan kekonyolan Altha pun ikut menyusul. Menyisakan Algi yang tidak berniat untuk keluar. Ia menatap tempat tidur Arif dimana di sana ada buku tebal bersampul hitam dengan pena yang terselip di sana.
Algi mendekatinya, membuka bukunya dan membaca tulisannya. Kagum sekaligus haru dirasa olehnya ketika kalimat itu tertangkap netranya.
Meski saya merasa tidak pantas untuk kamu, saya tetap suka kamu, Firli.
Algi dibuat geleng-geleng kepala saking gregetnya melihat sikap Arif yang masih enggan untuk mengirim tulisan itu pada Firli. Ia segera merobek lembaran itu dan melipatnya dengan rapi.
"Maaf, Rif, saya hanya ingin membantu."
¤¤¤¤¤
#writingmarathon bersama redaksisalam_ped
KAMU SEDANG MEMBACA
Hai, Mantan. Hijrah, Yuk!
Novela JuvenilSetiap orang pasti memiliki masa lalu. Terang atau kelam, kita tidak bisa lari. Karena hari yang sekarang sedang kau jalani pun akan menjadi masa lalu di masa yang akan datang. Jika masa lalu mu terang, maka sekarang kau harus membuatnya lebih ter...