Bab 17 - Penyesalan

2 1 0
                                    

Setelah para santri kembali ke kamarnya, Altha masih menunggu Ustadz Rayan. Ia masih ingin membahas jawaban soal katak. Setengah jam menunggu akhirnya Ustadz Rayan datang. Senyum hangat ia tunjukkan pada Altha.

Altha segera berdiri, menyalami Ustadz Rayan dan menyuruhnya duduk. Ia mulai memberitahu jawaban yang di dapat dari Arif. Ustadz Rayan tersenyum senang mendengarnya.

"Terus apa yang harus saya lakukan, Ustadz?" tanya Altha masih bingung.

"Kamu harus segera melompat keluar sebelum air itu semakin mendidih dan membuat kamu mati." Ustadz Rayan menepuk bahu Altha sebelum akhirnya pergi beranjak. Altha masih diam di tempatnya dengan otak yang terus berpikir keras mencerna kalimat Ustadz Rayan.

"Gue enggak mau mati kayak katak itu karena terlalu lama berdiam diri," lirihnya bermonolog. Ia kembali merenungi kalimat singkat itu.

"Gue sangat nyaman dengan perasaan gue sendiri pada Anya, apa itu artinya gue harus cepat melupakan  dia sebelum hati gue mati rasa?" Kepalanya terasa berat membayangkan dirinya dan Anya kembali menjadi orang asing. Hanya sesak yang dapat Altha rasakan sekarang.

"Seperti lo yang udah lupain gue, apa gue bisa lupain lo, Anya?"

¤¤¤¤¤

Sudah pukul dua belas, tetapi Altha masih belum memejamkan matanya. Ia terus memandangi foto yang dari tadi dipegangnya. Waktu tidak pernah berhenti bergulir, layaknya sebuah kenangan yang selalu bersarang dalam ingatan Altha.

Hal yang sangat Altha sesali sekarang adalah kecerobohannya yang mudah tergiur dengan ajakan temannya untuk mabuk-mabukan. Jika saja dulu ia mendengarkan Anya untuk berhenti tawuran, pasti sekarang hubungan mereka masih berjalan baik.

Altha ingin mengulang semuanya. Tiga tahun kehilangan Anya membuatnya tersiksa. Ia tidak ingin membiarkan hatinya terus tersiksa dengan membiarkan Anya menikah dengan orang lain.

"Kenapa rasanya berat sekali, Nya?" Suaranya mulai terdengar serak, ia kembali menangis.

"Iya, gue salah dan gue minta maaf karena enggak dengerin lo. Tapi jangan kasih gue hukuman seberat ini, Nya. Gue sayang banget sama lo."

Altha kembali membuka dompetnya, membuka secarik kertas yang masih ia simpan sampai sekrang. Sudah tiga tahun lamanya, tetapi ia sama sekali tidak ada niatan untuk membuangnya. Setidaknya ia masih bisa menikmati kerapian tulisan Anya. Dengan mata yang semakin berkaca-kaca, Altha membaca isi surat itu.

Dear ; Pacar gue, Altha.

Altha, ponsel gue rusak jadi gue kirim surat buat lo. Cuma mau ngingetin soal omongan gue tadi siang. Berhenti tawuran dan balapan, ya. Gue enggak mau terjadi apa-apa sama lo. Gue harap lo paham kenapa gue minta lo berhenti melakukan hal-hal yang kapan saja bisa membuat lo celaka dan menyesal di kemudian hari.

Gitu aja, ya. Anya sayang banget sama Altha.

Altha mengusap wajahnya dengan kasar. Benar ucapan Anya, sewaktu-waktu Altha bisa celaka dan menyesali semuanya. Sekarang semua itu sedang dirasakan oleh Altha.

"Bodoh! Bodoh! Bodoh!" Ia merutuki dirinya sendiri sambil mengacak-acak rambutnya frustrasi.

"Kasih waktu untuk kembali, Nya, gue mohon."

~

Anya sudah siap untuk berangkat, tetapi Altha masih belum kunjung menjemput. Sambil menunggu Anya memutuskan untuk membantu Ratih membungkus nasi uduk yang akan dijual hari ini. Ratih sudah melarangnya karena takut Anya lelah. Namun, bukanlah Anya jika tidak keras kepala. Ia terus saja membantu sampai akhirnya suara ketukan pintu terdengar.

Hai, Mantan. Hijrah, Yuk!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang