Sudah hampir satu bulan Altha menapaki jalan hijrahnya. Kapan pun dan dimana pun yang ia pegang hanya Al-Qur'an. Sebisa mungkin ia menolak ajakan sesat dua sejoli untuk menyelundup ke asrama putri. Algi pun kembali mengurungkan niatnya untuk mengirim surat itu. Ia masih belum berani jika menyelundup sendirian.
Alfin menatap Altha dengan tatapan jenuh. Dari tadi ia mengajak Altha untuk pergi sarapan, tetapi Altha masih sibuk menghafal. Ingin pergi lebih dulu pun ia tidak bisa karena dapat amanah dari Arif agar mengajak Altha sampai mau.
Semenjak Altha memutuskan untuk hijrah, dia jadi lupa waktu. Sarapan dan makan malam sering terlewatkan. Waktu tidur pun hanya satu jam karena terus menghafal Al-Qur'an dan Jurumiah. Bukan hanya Arif yang khawatir melihat tubuh Altha yang semakin kurus dan mata panda yang membesar, Alfin dan Algi pun ikut cemas. Bagaimana pun juga Altha adalah temannya.
"Cepat, Al, saya sudah lapar!"
"Lo duluan aja, gue lagi puasa biar dapat pahala," sahut Altha masih sibuk dengan Al-Qur'an-nya.
"Astaghfirullah! Ari kamu puasa naon? Ini hari Sabtu, bukan tanggal puasa ayyamul bidh pula!"
(Kamu puasa apa?)
"Gue lagi ngumpulin pahala, Fin, jangan ganggu."
"Kemarin kamu puasa?"
"Enggak, baru sekarang karena kepikiran buat nambahin pahala."
"Allohu akbar! Yang seperti ini amal tanpa ilmu, Altha."
"Maksudnya?"
"Nanti kamu tanya Arif saja, saya pusing jelasinnya. Sekarang hayu makan!" Merasa sudah tidak kuat menahan lapar, akhirnya Alfin menarik paksa tangan Altha.
"Fin, jangan jadi setan yang maksa gue buat enggak taat!" bantah Altha menarik kembali tangannya.
"Kamu tahu orang nasrani mengagungkan hari Sabtu dan Minggu? Orang Islam dilarang puasa di hari itu kecuali jika berpuasa di hari sebelum dan sesudahnya. Atau ketika ada udzur tertentu seperti mengqadha shaum ramadhan. Sekarang saya tanya, niat kamu puasa apa? Mengqadha, kah?"
"Shaum ramadhan gue full, Fin."
"Terus niat kamu puasa apa?"
"Enggak tahu."
"Kamu aja enggak tahu niat kamu puasa apa, gimana mau dapat pahala?"
Altha menggaruk pipinya yang sama sekali tidak terasa gatal. Sebelum kepalanya lebih pusing, Alfin kembali menarik tangan Altha. Kali ini cengkeramannya lebih kuat, takut jika Altha berontak lagi.
"Hayu makan, saya lapar!"
Diluar dugaan, kali ini Altha langsung menurut. Otaknya mendadak blank mengingat kalimat Alfin barusan.
"Kok, gue bodoh kayak lo, ya, Fin?"
¤¤¤¤¤
"Saya boleh ikut duduk?" Altha menghentikan aktivitas makannya kala mendengar suara Ustadz Hanif. Selera makannya lenyap begitu saja mengingat orang itu telah merebut Anya darinya. Ia harus bertanya pada Ustadz Rayan kapan pernikahan mereka dilangsungkan."Boleh banget, Ustadz, silakan." Berbeda dengan Altha, justru Arif menyambut hangat Ustadz Hanif. Mempersilakannya duduk dan mengajaknya mengobrol. Alfin dan Algi juga ikut terbawa obrolan ringan. Hanya Altha yang tidak tertarik untuk ikut membuka suara.
"Saya lihat akhir-akhir ini kamu rajin, Al, tidak pernah absen untuk setor hafalan." Ustadz Hanif mengalihkan topik.
"Kenapa memangnya? Ustadz tidak suka melihat saya taat?" sahut Altha tidak bersahabat. Ketiga temannya melotot pun tidak Altha perdulikan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hai, Mantan. Hijrah, Yuk!
Teen FictionSetiap orang pasti memiliki masa lalu. Terang atau kelam, kita tidak bisa lari. Karena hari yang sekarang sedang kau jalani pun akan menjadi masa lalu di masa yang akan datang. Jika masa lalu mu terang, maka sekarang kau harus membuatnya lebih ter...