Setelah tiba dikamarnya Anya segera menyimpan kitab dan bukunya di lemari. Kepalanya yang terasa berat mendorong Anya untuk berbaring. Anya memperhatikan dengan lekat liontin pemberian Altha. Terkadang Anya merasa tidak paham dengan dirinya sendiri. Hatinya sudah sangat terluka, tetapi masih berharap bisa bersama dengan Altha.
"Teh Anya." Anya tersentak saat melihat Firli tiba-tiba berada di sampingnya.
"Kenapa?"
"Liontinnya cantik seperti Teh Anya," puji Firli menyenggol lengan Anya.
"Lo juga cantik, Fir, makannya orang misterius itu terus kasih lo surat." Nyatanya Anya memang sudah tahu soal surat yang selalu diterima Firli. Namun, sampai detik ini tidak ada yang tahu siapa si pengirim surat itu.
"Kenapa dia enggak cantumkan nama di bawah suratnya, ya," lirih Firli dengan suara sendu.
"Mungkin dia malu, Fir."
"Malu kenapa?"
"Malu dengan kecantikan lo."
Firli menggeleng pelan, bisa-bisanya ia dibilang cantik sama orang yang lebih cantik darinya. Disela-sela obrolan mereka, suara jendela diketuk. Firli segera mengecek. Tidak ada siapa pun selain surat yang terselip.
"Siapa, Fir?"
"Seperti biasa, surat yang terselip di sela-sela jendela."
"Bacakan, dong!" Anya langsung bangkit dari tidurannya. Ia dengan antusias mendekati Firli. Membuat Firli malu sendiri.
"Malu, Teh."
"Cuma sama gue doang, Fir," pinta Anya memohon.
Firli mengembuskan napasnya. Perlahan ia membuka surat yang terlipat dan membacanya dengan pelan. Hanya bisa di dengar oleh mereka berdua saja karena memang yang berada di kamar hanya berdua.
"Meskipun saya merasa tidak pantas untuk kamu, saya tetap suka kamu, Firli." Pipi Firli merah merona setelah membacakan isi suratnya. Matanya menangkap sebuah nama singkat dibawah surat itu.
"Arif?" tanya Firli menatap Anya dengan tidak percaya. Bagaimana tidak? Semua santri di sini sangat mengenal Arif. Lelaki tampan yang memiliki gelar santri terbaik. Suaranya sangat merdu kala melantunkan kalam-Nya. Ketika diminta jadi mu'adzin, semangat para santri membara untuk melaksanakan Salat.
"Arif santri terbaik itu?" Bukan hanya Firli yang tidak menduga, Anya pun tidak kalah kagetnya.
"Kang Arif suka sama saya, Teh?" Firli bertanya sekali lagi untuk memastikan.
"MaaSyaa Allah beruntungnya!" seru Anya antusias. Ia segera memeluk Firi memberi selamat.
"Mana Ustadzah lihat suratnya."
Anya dan Firli mendadak tegang mendengar suara Ustadzah Rifa yang tengah berdiri di ambang pintu. Tadi Firli lupa menutup pintunya, jadi ia tidak tahu sejak kapan Ustadzah Rifa berdiri di sana.
"Ustadzah, saya ...."
Ustadzah Rifa segera mendekat dan merebut paksa surat itu, membacanya dengan seksama. Tatapannya berubah tajam seolah siap menyantap Firli kapan saja.
"Mana surat yang lainnya?"
"Ustadzah sebenarnya Firli ...."
"Ustadzah bicara sama Firli, Anya!"
Mau tidak mau Firli menurut. Mengambil beberapa surat yang lainnya dalam lemari. Tanpa banyak bicara ia segera menyerahkan surat itu pada Ustadzah Rifa. Ia sudah tidak bisa berbuat apa lagi selain pasrah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hai, Mantan. Hijrah, Yuk!
Novela JuvenilSetiap orang pasti memiliki masa lalu. Terang atau kelam, kita tidak bisa lari. Karena hari yang sekarang sedang kau jalani pun akan menjadi masa lalu di masa yang akan datang. Jika masa lalu mu terang, maka sekarang kau harus membuatnya lebih ter...