~ Raih cinta Allah, maka Allah akan membersamakan mu dengan orang yang sangat dicintai-Nya.~
- Tinta Biru.
¤¤¤¤¤
Adzan Shubuh sudah berkumandang. Membangunkan alam semesta untuk kembali memuji keagungan-Nya. Arif masih berusaha mendiamkan Altha yang masih menangis. Beberapa santri sempat memperhatikan fenomena itu sebelum masuk Masjid.
Mungkin dia sedang rindu orang tuanya. Begitulah para santri berpikir. Mereka tidak ada waktu untuk mengejek karena sesekali tangisan itu sering mereka alami kala rindu pada orang tua kian melanda.
Termasuk Alfin dan Algi. Dari tadi mereka juga terus mencoba menghibur Altha. Meminta maaf karena tadi sempat menyiramnya dengan air garam.
"Enggak ada yang enggak rindu sama orang yang sangat berpengaruh dalam hidup kita, Al. Suatu hari nanti kita bisa menemui mereka, kok." Algi mengusap bahu Altha, suaranya juga terdengar serak karena tidak dapat menahan tangis.
"Gue salah banget sama dia, gue udah lukain dia."
"Saya juga pernah nyakitin dia karena kebandelan saya, Al. Makannya disini kita berjuang untuk mengobati lukanya." Alfin ikut menangis. Arif tersenyum melihat mereka yang akur.
"Kalian percaya enggak kalo gue bisa ngobatin lukanya?"
"Pasti bisa, Al, kami yakin itu." Alfin dan Algi menjawab serentak.
"Kalian yakin karena kalian enggak tahu bagaimana luka dia."
"Al, dia sudah mengandung, melahirkan, menyusui dan merawat kamu sampai sebesar ini. Enggak mungkin dia enggak maafin kamu. Meskipun singa buas, dia akan tetap sayang sama anaknya," ujar Algi bijak. Alfin mengangguk membenarkan ucapan temannya.
"Tapi dia enggak ngandung dan ngelahirin gue karena dia masih gadis." Altha semakin terisak.
"Dia Emak tiri kamu? Kok masih gadis?"
Arif menepuk jidatnya. Ternyata dari tadi ia hanya menyaksikan obrolan yang salah sambung. Ia segera menarik tangan Altha dan mengajaknya untuk berwudhu sebelum Ustadz Hanif datang dan menghukumnya karena terlambat.
"Atos, Kang, ulah diteraskeun, moal leres."
(Sudah, Kang, jangan diteruskan, enggak akan bener)
¤¤¤¤¤
Setelah Salat Shubuh, para santri dibiasakan untuk siraman rohani selama satu jam dan mengaji pagi sampai jam delapan. Hati Altha sedikit lebih tenang setelah membaca Al-Qur'an. Meskipun bacaannya masih terbata, tetapi Ustadz Rayan dengan sangat ramah mengajarinya.
Jika dibandingkan dengan Ustadz Hanif, tentu Altha lebih memilih Ustadz Rayan. Sikapnya yang humble dan satu frekuensi dengannya membuat Altha sedikit melupakan masalahnya.
"Jadi dulu Ustadz Rayan ini pembalap?" Ketika santri lainnya sudah bergegas untuk sarapan, Altha masih betah berdiam diri di Masjid dan mengajak ngobrol Ustadz Rayan.
"Iya, beberapa kali di penjara karena nabrak orang membuat saya berpikir, cepat atau lambat saya akan berkeluarga. Akan ada anak dan istri yang harus saya didik. Karena bagaimana pun juga saya ingin memiliki pasangan yang baik. Masa iya hidup saya akan begini terus?"
"Terus, Tadz?" Altha dengan sangat antusias mendengarkan kisah muda Ustadz Rayan.
"Akhirnya saya memutuskan untuk belajar ilmu agama. Orang tua saya sempat mengirim saya ke pesantren terbaik di Bandung, tapi tidak betah karena waktu itu saya belum bisa beradaptasi. Sehingga saya memutuskan untuk kabur dengan uang tabungan yang dikirim Ayah saya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Hai, Mantan. Hijrah, Yuk!
Novela JuvenilSetiap orang pasti memiliki masa lalu. Terang atau kelam, kita tidak bisa lari. Karena hari yang sekarang sedang kau jalani pun akan menjadi masa lalu di masa yang akan datang. Jika masa lalu mu terang, maka sekarang kau harus membuatnya lebih ter...