Setengah jam lagi memasuki waktu Ashar. Semua santri dan santriwati segera bergegas mandi dan bersiap diri untuk kembali mengaji. Suasana Pondok lebih nyaman setelah dibersihkan para santri. Itulah yang menyebabkan Pondok itu sangat asri dan udaranya terasa sejuk. Mereka benar-benar mengamalkan salah satu hadits tentang kebersihan.
Altha. Lelaki itu telah berada di Masjid sejak tadi. Setelah Arif memberitahu jawaban mengenai katak, ia tidak sabar ingin bertemu dengan Ustadz Rayan dan memintanya untuk melanjutkan cerita katak itu.
Decitan suara pintu yang terbuka membuat Altha antusias ingin menyambut. Berharap jika yang datang adalah Ustadz Rayan, tetapi harapan itu pupus ketika melihat Ustadz Hanif yang datang. Orang yang tidak Altha sukai sejak dia dihukum. Ditambah dia adalah orang yang telah mengambil gadis kesayangannya.
Sampai kapan pun, Altha akan terus berjuang untuk Anya. Bagaimana pun cara Anya untuk menyakitinya, Altha sama sekali tidak gentar. Karena bagi Altha, Anya adalah miliknya dan selamanya akan tetap menjadi miliknya. Sekali pun status mereka sudah menjadi mantan.
"Assalamu'alaikum," sapa Ustadz Hanif ramah. Altha sama sekali tidak menyahut. Ia malah menutup mata dan telinganya sambil mulut yang kumat kamit, Altha sedang pura-pura menghafal Al-Qur'an.
"Menghafal itu boleh, tapi tidak ada salahnya menyambut orang yang baru datang. Selain untuk menyenangkan orangnya, itu juga bentuk salah satu adab."
Altha tidak perduli. "Diri gue aja masih perlu disenangkan ngapain repot-repot nyenengin orang lain?" batin Altha mengumpat kesal. Atmosfer sekitarnya mendadak berubah seperti neraka saja baginya.
"Tangan kamu kenapa? Kok, banyak luka?" tanya Ustadz Hanif mencoba meraih tangan Altha, tetapi Altha malah menghindar dan pindah ke pojokan.
Ustadz Hanif hanya tersenyum hangat. Sepertinya Altha masih kesal karena minggu lalu ia telah menghukumnya. Ia tidak mau menyerah, bagaimana pun juga ia masih ada kewajiban untuk mendidik santrinya meski umurnya hanya selisih tiga tahun lebih tua dibanding Altha.
"Ikut saya biar saya obati luka kamu." Ustadz Hanif menghampiri Atha.
"Enggak liat orang lagi menghafal?"
Ustadz Hanif tidak perduli meski nada bicara Altha sangat dingin. Ia malah duduk di samping Altha dan berusaha memberi pengertian jika hukuman minggu kemarin bukan untuk membuatnya malu, melainkan untuk mendidik agar santri disini bisa disiplin.
"Kamu masih kesal karena hukuman minggu lalu?"
Altha memejamkan matanya, napasnya ia hembuskan dengan perlahan. Sebisa mungkin ia tahan emosinya agar tidak memukul Ustadz Hanif detik itu juga meski sekarang matanya sudah menyorot tajam.
"Saya kesal karena Ustadz Hanif telah merampas sumber kebahagiaan saya!"
¤¤¤¤¤
Tepat pada pukul sepuluh seluruh santri kembali ke kamarnya masing-masing. Tidak dengan Anya, dia tengah duduk bersandar di teras Masjid. Angin malam menemani renungannya tentang kejadian tadi siang.
Perlahan Anya mengembuskan napasnya. Sesak sekali rasanya karena bayangan masa lalu seolah tidak ingin berhenti mengikutinya. Tidak pernah satu detik pun kenangan manis bersama Altha hilang dalam ingatannya.
"Anya belum masuk kamar?" Tiba-tiba Ustadzah Hani duduk di sampingnya. Anya segera tersadar dan menunjukkan seulas senyum tipis.
"Saya masih ingin menikmati angin malam, Ustadzah."
Ustadzah Hani ikut tersenyum, tangannya meraih tangan Anya dan menggenggamnya. Memberikan ketenangan pada Anya yang ia duga sedang ada masalah.
"Kamu masih belum menemukan jawaban soal pinangan Kang Hanif?"
Anya menggeleng. Ia tidak punya alasan kuat untuk menerima atau menolak. Hatinya masih menginginkan untuk kembali bersatu dengan Altha, tetapi egonya menolak keras. Ia ingin memulai kehidupan yang baru dengan orang baru. Bukan dengan Altha yang telah menorehkan luka dalam hatinya, merampas segala harsanya dan membuatnya jatuh.
"Saya bukan memikirkan soal itu, Ustadzah."
"Terus?"
Helaan napas kembali terdengar. "Ustadzah, saya boleh tanya?"
"Mau tanya apa?"
"Bagaimana caranya agar kita mampu memaafkan orang yang pernah menyakiti kita?"
"Coba lapangkan hati untuk menerima semua yang terjadi baik di masa lalu, masa sekarang atau di masa yang akan datang. Luka itu akan terus menghujam diri karena hati yang sempit sampai sulit menerima apa yang sudah Allah kehendaki. Padahal semua yang terjadi di alam semesta ini tidak pernah luput dari kehendak-Nya."
"Lalu, bagaimana agar hati kita lapang dan mudah menerima? Mengapa bagi saya rasanya sulit sekali?" Anya tidak bisa lagi menyembunyikan tangisannya. Luka itu terlalu menyesakkan untuk dipendam seorang diri.
"Jadikan Al-Qur'an sebagai sahabat. Baca setiap ayatnya dan pelajari maknanya. Bukankah Al-Qur'an memiliki sifat An-Nuur yang artinya cahaya. Maksudnya Al-Qur'an berfungsi untuk menerangi kegelapan hati manusia. Hati manusia itu terletak di rongga dada yang dalamnya sangat gelap karena terkurung oleh jasad luar manusia. Ditambah perbuatan kita yang membuatnya semakin gelap. Oleh karena itu Allah menurunkan Al-Qur'an agar dapat memantulkan cahaya-Nya ke dalam hati manusia."
"Al-Qur'an juga memiliki sifat Al-Syifa yang berarti penawar. Maksudnya Al-Qur'an bisa menjadi faktor yang dapat menyembuhkan segala macam penyakit hati seperti gelisah, kecewa dan segala luka yang menyesakkan dada."
"Coba luangkan waktu sekejap saja untuk bercumbu mesra dengan Allah lewat ayat-ayat Al-Qur'an yang kita lantunkan. Manusia itu makhluk yang dha'if dan kemampuannya serba terbatas. Wajar, kok, jika sesekali merasa lelah, tapi jangan sampai berpikir untuk menyerah apalagi sampai berpaling dan menyalahkan kehendak-Nya.
Anya segera memeluk Ustadzah Hani, tangisnya pecah. Ustadzah Hani benar, tiga tahun tinggal di Pesantren Anya masih jauh dari Allah. Ia sempat menyalahkan kehendak-Nya karena takdir yang membuatnya terluka parah.
Sangat sulit baginya untuk melepas orang-orang yang paling ia sayangi. Rasa rindu pada sang Ibu terus mengoyak hatinya. Kepedihan hati yang ia rasa membuat niat hijrahnya tidak lillah. Jujur, Anya tidak pernah memiliki niat yang tulus untuk meraih rida-Nya. Anya hijrah agar ketika bertemu Altha dia bisa membalas rasa sakitnya. Ia ingin membuat Altha menyesal atas pengkhianatannya.
Seharusnya tadi siang hatinya bersorak ria karena Altha terluka mendengar kabar dirinya dipinang Ustadz Hanif. Namun, mengapa dirinya ikut terluka? Bukankah dia sangat ingin membuat Altha jatuh terluka seperti dirinya? Mengapa ia harus berbohong demi menyakiti hati Altha?
Ya, Anya berbohong perihal jawaban tadi siang.
¤¤¤¤¤
#writingmarathon bersama redaksisalam_ped
KAMU SEDANG MEMBACA
Hai, Mantan. Hijrah, Yuk!
Teen FictionSetiap orang pasti memiliki masa lalu. Terang atau kelam, kita tidak bisa lari. Karena hari yang sekarang sedang kau jalani pun akan menjadi masa lalu di masa yang akan datang. Jika masa lalu mu terang, maka sekarang kau harus membuatnya lebih ter...