Bab 18 - Ingin melupakan

2 1 0
                                    

Hampir dua jam Altha merenung. Matanya masih belum kunjung terpejam meski raganya sudah sangat lelah. Kini tatapannya kosong ke depan. Surat itu masih ia pegang. Sesekali air matanya jatuh tanpa diminta.

Arif terbangun karena ingin ke kamar mandi. Melihat kondisi Altha seperti orang depresi bukanlah pemandangan yang baik untuknya. Niatnya untuk ke kamar mandi sejenak diurungkan. Keadaan temannya yang bisa dibilang memprihatinkan lebih mendorongnya untuk menghampiri.

"Sudah jam dua belum tidur, Kang?"

Altha menggeleng pelan. "Gue lagi cari cara buat lupain seseorang, Rif."

"Kenapa dilupakan?"

"Karena dia memiliki hak untuk bahagia."

"Dia siapa?"

"Mantan."

Arif lebih mendekatkan dirinya pada Altha. Merangkul bahunya dan menepuknya pelan. Sebagai teman, dia memiliki tanggung jawab untuk menyemangati Altha. Mengajaknya untuk berjalan menggapai rida-Nya adalah suatu keharusan bagi Arif.

"Mau saya kasih tahu cara melupakan orang yang kita sayang?"

Baru kali ini Altha menoleh. Ia menegakkan tubuhnya dan segera menghadap Arif dengan tatapan penuh harap.

"Kasih tahu gue, Rif!" sahut Altha antusias.

"Dengarkan saya sampai selesai, ya," pesan Arif sebelum bicara panjang lebar.

"Iya, gue akan dengerin lo sampai selesai."

"Begini, Kang, semua hal yang berbau lama akan terlupakan jika ada sesuatu yang baru. Sekarang coba Kang Altha tempatkan yang baru itu di hati Akang. Bukan manusia yang nantinya akan kembali membuat kecewa, tetapi Allah Sang Pemilik Cinta."

"Coba Kang Altha belajar mencintai Allah dan merindukan Rasul-Nya. Raih cinta-Nya lewat ayat-ayat Al-Qur'an yang Kang Altha lantunkan. Coba hafal Al-Qur'an dan isi setiap detiknya dengan murajaah. Karena dengan murajaah, yang akan Kang Altha ingat hanya ayat Al-Qur'an bukan kenangan bersama mantan."

"Perbanyak dzikir karena sepanjang lisan kita menyebut nama-Nya, hati kita akan terpaut pada cinta-Nya. Jika sudah terpaut, maka tidak akan lagi Kang Altha mengingat mantan. Karena pada dasarnya kesulitan kita untuk melupakan seseorang itu karena rasa cinta yang terlalu besar, sedangkan kita tidak boleh mencintai makhluk melebihi dari kecintaan kita pada Allah. Terakhir, perbanyak Shalawat untuk menambah kecintaan kita pada Rasulullah agar tidak ada waktu untuk merindukan mantan."

"Semenjak Kang Altha menceritakan tentang katak, saya sudah tahu kalo Akang sedang mencari jalan keluar untuk keluar dari zona yang sekarang Kang Altha singgahi. Sekarang Kang Altha sudah tahu jawabannya bahwa katak itu mati karena ketidakmampuannya untuk melompat. Wajar jika katak itu tidak mampu karena ia mulai melompat saat airnya perlahan menghangat."

"Jadi sekarang Kang Altha harus segera keluar dari zona nyaman sebelum jatuh pada titik ternyaman dan celaka karenanya. Enggak papa berat di awal, nanti juga akan terbiasa sampai akhirnya Kang Altha terbebas dengan sendirinya."

"Jika zona nyaman Kang Altha berada di jalan ketaatan pada Allah, jangan pernah berpikir untuk keluar. Tapi jika Kang Altha berada di zona kemaksiatan, segeralah meloncat dan bersihkan diri dengan taubat."

Altha memejamkan matanya dengan helaan napas berat yang terus ia hembuskan. Nasehat Arif mampu mengusik relung hatinya. Selama ini dia sudah sangat jauh dari Allah. Aturan yang selalu ia langgar dan larangan yang selalu ia lakukan.

Mungkin ini memang hukuman dari Allah atas dosa-dosanya. Altha paham sekarang bahwa yang memberikan hukuman bukan Anya. Anya hanya perantara yang dikirim Allah untuk menghukumnya.

"Dosa gue banyak banget, Rif."

¤¤¤¤¤

Pukul setengah tiga Anya  terbangun dari tidurnya. Masih ada tiga puluh menit lagi sebelum para santri dibangunkan. Ia berjalan pelan mendekati jendela dan membukanya untuk menghirup udara dingin dini hari.

Hembusan angin perlahan menerpa wajah Anya. Menciptakan kesejukan tersendiri di hati gadis itu. Suasana yang masih hening sedikit menenangkan hatinya. Perlahan kepalanya mendongak, menatap langit gelap yang dihiasi bintang-bintang. Bulan yang terang menjadi pelengkap keindahannya.

Anya seolah bisa melihat Ibunya di atas sana. Ibu yang tengah tersenyum hangat dengan kedua tangan yang direntangkan sebagai isyarat ingin memeluk putrinya. Tatapannya seakan mengatakan 'Kamu kuat, Sayang.'

Butiran bening lolos begitu saja membasahi pipi chubby yang dingin terkena angin. Kerinduan yang dirasanya kini semakin menyeruak. Pelukan hangat Ibunya selalu melekat dalam dirinya. Perlahan tangannya meraih benda yang mengalung di lehernya. Sebuah liontin yang tidak ingin ia lepas. Tidak bisa dipungkiri bahwa Anya juga merindukan si pemberi liontin itu.

"Ibu, bilang sama Altha kenapa dia tega nyakitin Anya? Bilang juga sama dia kalo Anya masih sayang dan selalu merindukannya. Anya enggak pernah benci Altha, Bu." Tusukan pedang tajam seolah menghujam dadanya. Kerinduan yang membuatnya terkurung dalam bayangan masa lalu membuatnya semakin hari semakin tersiksa. Rasa sayang dan ego yang tinggi membuat pikiran Anya kian hari semakin terluka.

"Bilang sama dia kalo Anya enggak pernah menerima pinangan Ustadz Hanif." Tangisan Anya semakin tidak terkendali. Ia memukul dadanya yang semakin sesak. Ia sama sekali tidak ingin mengingkari janji yang dulu pernah terucap.

"Tolong bilang sama Altha kalo Anya masih nunggu dia berubah dan nikahin Anya, Bu."

¤¤¤¤¤

#writingmarathon bersama redaksisalam_ped

Hai, Mantan. Hijrah, Yuk!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang