Hari ini jadwal bulanan mereka berbelanja, dan Harzi-Kiran baru saja tiba di parkiran sebuah pusat perbelanjaan. Menggandeng lengan sang suami, Kiran dengan senang hati melangkahkan kaki menuju toko perabotan terlebih dulu. Mau lihat-lihat barang baru, siapa tahu ada yang nyantol. Sebenarnya juga beberapa hari yang lalu putranya mengeluhkan soal kursi belajarnya yang tidak nyaman dan malah minta dibelikan kursi gaming seperti milik si Ayah.
"Acan udah tinggi, apa kita beli yang baru aja, ya?"
Harzi auto sewot. "Giliran aku ijin beli kursi gaming kamu larang."
"Kapan? Aku cuma bilang, jangan dulu."
"Sama aja!"
Tak hirau, Kiran lanjut menelusuri rak-rak berisi barang-barang lucu. Kepalanya mengingat-ingat semua keluhan dari si baginda dan pangeran, barangkali ia bisa menemukan benda yang dibutuhkan di sini. Langkahnya lalu terhenti ketika menemukan deretan alat humidifier, yang langsung diambilnya dan masukkan ke dalam troli, setelah itu lanjut berkeliling untuk mencari keperluan lain.
"Ini apa?"
"Humidifier."
"Buat?"
"Kamu."
"Aku?" Harzi menunjuk wajahnya, lalu dengan cepat membuka box untuk mengintip isinya. "Kok belinya banyak banget?"
"Ini pelembab udara, kamu kan alergi debu. Nanti disimpen di studio sama kamar." Jawab Kiran. "Kamu beli apa?"
"Tadi mesen kursi pijet, sih."
"Buat?"
"Kamu."
"Oh ya?" Kiran seketika berbinar ketika si suami membenarkan. "Kamu kan sering ngeluh capek kalau habis bersih-bersih, biar nggak ngerepotin aku buat mijitin, jadi beli deh." Jelasnya yang tentu saja menghilangkan senyum di wajah istrinya, wanita itu menghela napas berat dan membawa trolinya menjauh.
"Bundaaa, Ayah cuma bercanda." Rengekannya sungguh tak direspon oleh Kiran. Tidak hingga seseorang muncul dari belakang dan menyapa keduanya.
"Kak Kiran?"
Kiran menoleh, bengong sejenak sebelum menyadari bahwa yang memanggilnya itu adalah. "Yatha???"
"Hehe, masih ingat, ya? Kirain udah lupa." Cengirnya kemudian mengulurkan tangan. "Apa kabar, Kak?" Dan dengan senang hati pula Kiran menyambutnya. "Kabar baik. Kamu apa kabar?"
"Sama baiknya."
"Kamu ke sini sendiri?"
Wah, Harzi jarang sekali melihat istrinya bertanya basa-basi duluan seperti itu. Mana gelagatnya begitu antusias. Ia juga tidak tahu kalau Kiran bisa seramah ini pada lelaki selain saudara dan sahabatnya. Harzi sendiri tidak ingat siapa orang ini. "Bun."
Kiran menoleh dan menatapnya, kemudian langsung menarik lengannya mendekat untuk mengenalkan mereka. "Ini Yatha. Temennya Naka jaman SMA. Mereka sering main ke rumah dulu, makanya aku kenal."
"Maaf ya Kak, nggak bisa dateng waktu nikahan. Waktu itu gue lagi kuliah di Singapur."
Kiran tersenyum. "Nggak apa-apa."
Tak lama seorang wanita lain datang menghampiri mereka, juga membawa troli. Terlihat Yatha menyambutnya dengan senyuman dan merangkulnya. "Ra, Inget Kak Kiran nggak? Senior kita pas SMA dulu."
"Inget. Aku Alara, Kak. Kak Kiran kakaknya Gilang, kan?"
"Kebetulan kakaknya." Lalu ketiganya tertawa. Melupakan Harzi yang sedang merasakan karma instan, soalnya giliran dia yang bete.
KAMU SEDANG MEMBACA
until we're grey and old [✔]
Fanfiction[ read after "look how we've grown" ] I'll take the kids to school, wave them goodbye, and I'll thank my lucky stars for that night. ©tuesday-eve, 2021.