"SELAMAT ULANG TAHUN, AYAH !"
Kazan, dengan mata sepet baru bangun tidur memaksa diri untuk menyerukan ucapan selamat kepada ayah yang terkasih. Berdiri di sebelah sang bunda yang kini memegang erat nampan berisi kue buatan mereka siang tadi. Sewaktu Harzi masih bekerja dengan perasaan pundung karena Kiran yang menjahilinya dalam rangka hari ulang tahun, juga sekalian ajang balas dendam atas kekecewaannya tempo hari.
Bocah itu tersenyum lebar setelah ayahnya mematikan lilin dengan jemari. Kazan pun jadi orang kedua yang menerima suapan kue dari beliau. Disuapinya banyak sekali, sesendok penuh, buat si bunda jadi mendumel karena takut dirinya akan sakit perut atau malah sakit gigi. Tapi sekali lagi ayahnya tidak peduli, hanya tertawa bersama kakek dan neneknya yang baru datang satu jam yang lalu. Keduanya mengungsi di kamar tamu agar tidak ketahuan, dan sedari tadi menertawakan anak mereka yang dilanda panik mencari istrinya dari dalam sana.
"Mama sama Ayah datangnya kapan coba?"
"Waktu kamu tidur." Jawab Ayah Jo singkat, sekarang kelimanya sudah terduduk di ruang tengah. Semua lampu kembali dinyalakan, kue untuk Harzi diletakkan di atas meja. Dan Kazan masih menikmatinya, ditemani bunda yang duduk lesehan di atas karpet.
"Memangnya kalian lagi nggak sibuk?" Harzi bertanya lagi. Mama Joya mengedikkan bahu. "Kami ke sini mau jemput si Aa', katanya lagi libur sekolah, jadi mau dititipin di rumah kakek neneknya. Iya kan A'?"
Sadar atensi tertuju padanya, Kazan jadi meresponnya dengan anggukan. Mulutnya nyaris menepis tak terima, namun teringat janji yang ia buat dengan bundanya sore kemarin. Kalau bunda akan memberi hadiah kepada si ayah berupa jalan-jalan sebagai ucapan terima kasih atas kerja kerasnya selama ini, dan terkhusus kali ini Kazan tidak diperkenankan untuk ikut. Kazan hampir menangis waktu menyadari maksud bundanya, bahwa mereka akan pergi bersenang-senang selama beberapa waktu tanpa dirinya.
Lalu semua menjadi lebih jelas ketika kakek dan neneknya dengan suka cita menjelaskan bila tujuan ayah dan bundanya pergi berlibur selain untuk hadiah dan menenangkan diri dari peliknya mengurus keluarga. Ternyata juga untuk menjemput adik untuk Kazan. Awalnya ia tidak mengerti, kalau begitu kenapa Kazan tidak ikut saja? Biar bisa dipilih kalau sekiranya Kazan tidak suka dengan adik barunya. Namun, mereka berkata hal itu tidak bisa dilakukan dan Kazan harus bersabar bila memang ingin seorang adik.
"Jadi tidak bisa dipilih? Seperti mainan? Tidak bisa?"
"Nggak bisa custom, boi. Maaf ya, Ayah akan berusaha membuatnya sebaik mugkin." Ucap si ayah yang tentu saja mendapat cubitan dari bundanya. Wanita tercantik di dunia itu lalu memainkan jemari Kazan sembari tersenyum. "Maafin Bunda, ya? Kali ini pergi nggak sama Acan."
Kazan tentu merengut dan berkaca-kaca. Seumur hidupnya, Kazan tidak pernah benar-benar lepas dari bundanya. Seperti bayi koala yang senantiasa bergelantung di tubuh sang induk, Kazan juga begitu. Untuk sesaat ia memikirkan banyak hal seperti ; Bagaimana jika ia terbangun di tengah malam dan membutuhkan sang bunda untuk memeluknya agar kembali terlelap? Atau bagaimana jika ada yang membuatnya menangis, namun tidak ada bunda yang bisa menenangkannya? Bagaimana jika grandma dan grandpa-nya tidak sengaja memberinya makanan yang salah dan Kazan tidak punya bunda tempatnya mengadu karena kepayahan menghabiskan makanannya?
Kazan bukan anak yang suka mengeluh pada orang lain kecuali ayah dan bundanya. Sebab Kiran selalu bilang, terlalu banyak mengeluh itu tidak baik. Sering mengeluh di depan orang lain akan membuat kita dinilai sebagai orang yang tidak tahu bersyukur. Dan Kazan tidak mau jadi orang jahat, karena Tuhan tidak suka. Bagaimana kalau Tuhan marah dan mengambil jiwanya yang penuh dosa? Lalu alih-alih bertemu dengan abangnya, Kazan malah nyasar ke tempat setan yang menyeramkan. Itu mimpi buruk!
KAMU SEDANG MEMBACA
until we're grey and old [✔]
Fanfiction[ read after "look how we've grown" ] I'll take the kids to school, wave them goodbye, and I'll thank my lucky stars for that night. ©tuesday-eve, 2021.