"Bang Harzi, nggak masuk?"
Pria itu terkesiap. Gelas kopi yang masih tersisa setengah dan telah dingin itu akhirnya ditandaskan. Harzi kemudian tersenyum singkat ke arah si adik ipar yang baru saja kembali dari prosesi pemakaman sang ayah jauh di sana.
"Duluan aja, abang nunggu yang lain selesai dulu."
Kanaka mengangguk samar. Harzi memang punya kebiasaan tak ingin langsung menemui siapapun usai hal besar terjadi, khususnya jika Kirani baru saja sembuh dari sakit. Sepertinya Harzi selalu butuh waktu lebih banyak untuk mengumpulkan keberanian menghadapi kebahagiaan luar biasa tiap kali istrinya berhasil melalui satu ujian dari Tuhan, lagi.
"Oke. Kazaniru, aman?"
"Ada di dalam sama mama," jawab Harzi. "Bang Kun?"
"Nunggu Khailan sama Kelana pulang sekolah dulu."
Harzi mengangguk saja mendengarnya, sementara itu Kanaka masuk dan menemukan keponakan tersayang sedang berbaring di sebelah Kirani. Tangan kecil itu tak hentinya mengusap wajah ibunya yang sedang berbincang ringan dengan mama mereka.
Atensi Kirani tentu langsung tertuju pada Kanaka yang baru mengisi ruangan. Ia tersenyum dan sedikit merentangkan tangan menyambut kedatangan adiknya, buat Kanaka tidak tahan untuk merengkuh tubuh rapuh itu erat. Rasanya ingin menumpahkan segala hal yang dia lalui selama Kirani tak bersamanya, namun teringat bila Kirani sampai tahu maka akhirnya akan jadi luka baru untuk wanita itu.
"Kalisa mana?"
"Dia nyusul dari tempat kerjanya."
"Nggak kamu jemput?" Kanaka menggeleng. "Nggak bisa nunggu."
Alis Kirani mengerut sebentar. "Memangnya kamu sendiri dari mana?"
"Ada deh...." balas Kanaka dengan cengiran, ia terlampau senang bisa berbicara normal dengan kakaknya setelah sekian lama. Biasanya kalau tidak setengah sadar setelah kemoterapi, ya ditinggal kritis seperti kemarin.
Karena keasyikan ngobrol, Kanaka jadi lupa dengan keberadaan satu lagi mahluk kesayangan yang sudah mendecak kesal dalam rangkulan bundanya sejak tadi. Gatal sekali mulut itu ingin menginterupsi perbincangan keduanya, namun diurungkan sebab tak ingin merusak suasana. Terlebih lagi Kanaka terlihat begitu antusias bisa berbincang dengan ibundanya.
Barulah saat Kirani hendak disuapi makan oleh Irene, Kazan akhirnya menyapa Kanaka yang sudah berpindah duduk di sofa sana.
"Oji."
"Hah? WAH! ACAN!!"
"Hadehh...." ujarnya memutar bola mata. Apalagi saat tubuhnya mendadak melayang karena digendong Kanaka, rasanya makin malas saja Kazan tuh. Sudah keburu bete kehadirannya diabaikan sejak tadi.
"Maafffff banget Oji baru sadar kalau ada kamu di sini. Padahal di luar tadi malah nyariin kamu ke si ayah."
"Ayah? Aku kira ayah masih di jalan?"
"Udah di luar dari tadi."
"Kenapa nggak masuk kalau gitu?"
"Udah, biarin aja dulu. Mungkin ayahmu masih capek."
"Okay---ya udah turunin Acan!"
"Hahahaha sori sori," tapi setelah diturunkan masih dipeluk juga. "Maaf yaa kemarin-kemarin Oji nggak banyak main sama kamu. Soalnya lagi sibuk banget, kamu tahu sendiri kan sekarang Oji udah punya istri... hahahaha...."
Iyain saja deh... Kazan juga sudah bosan dengar pamannya ini ngoceh terus tentang istrinya sepanjang hari. Bau bucin kalau kata Shanum, mah.
Bicara soal gadis itu, berdasar penuturan Harzi pagi tadi katanya ia beserta papa dan mamanya akan datang siang ini juga. Katanya lagi nih, karena Kazan malas berbicara langsung dengannya, Shanum sudah ngeluh kangen berat karena kelamaan berpisah dengan ayang bebepnya ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
until we're grey and old [✔]
Fanfiction[ read after "look how we've grown" ] I'll take the kids to school, wave them goodbye, and I'll thank my lucky stars for that night. ©tuesday-eve, 2021.