3 hari berlalu sejak operasi besar Kirani dilakukan, dan selama itu dokter tak menyatakan adanya efek samping apapun. Walau begitu, Kirani masih harus tinggal di rumah sakit untuk proses pemulihan hingga dinyatakan benar sembuh.
"Jadi Bunda mau tinggal di sini?"
"Bunda harus."
"Tapi kenapaaaaa?" Kazan merengek di pelukan sang ibu. "Bunda bilang nggak suka rumah sakit?"
"Acan mau Bunda cepat sembuh, kan?"
Sadar tak mampu melawan, Kazan berganti mencebik dan memeluk Kirani lebih erat. "Ya udah deh... Tapi Acan mau tinggal di sini juga!"
"Bukannya Acan sekolah?"
"Nggak mau."
"Tapi Acan harus."
"Aihhhhhhhh."
Dan kekehan pun lolos dari bibir Kirani, untuk yang pertama kalinya setelah sempat kesusahan bahkan untuk sekadar batuk. Harzi yang baru memasuki ruangan usai menelepon Wawan sampai kaget dan latah menegur Kazan untuk jangan membuat Bundanya mengeluarkan terlalu banyak energi dulu.
"Nggak apa-apa, udah nggak sakit." Ujar Kirani tersenyum simpul. Tangannya terangkat, bermaksud menyambut si suami yang telah mengisi kursi di sisi brankarnya. "Dari mana?"
"Nelepon Wawan."
"Semua baik?"
"Baik."
Jawaban itu jelas bukan pertanda baik. Pada akhirnya Kirani hanya sanggup meredakan keresahan dengan mengusap lembut wajah itu. "Kalau memang perlu, kamu boleh ke sana dan selesaiin urusannya."
"Nggak mau."
"Kalau harus."
"Tapi aku nggak mau."
"Kalian berdua beneran sama." Kirani berdengkus geli, mengusak kepala dua lelakinya bersamaan. "Bunda baik kok. Kalian nggak usah lebay gini khawatirnya."
Harzi membelalak tak percaya. "Cuma kamu manusia yang baru selesai taruhan nyawa terus dengan santainya ngomong begitu."
"Bunda nih, nggak tahu ya Ayah sampai nggak mandi karena belum ketemu Bunda?" Ujar Kazan menambahkan.
"Eh? Bukannya Ayah emang males mandi, ya?"
Wajah Harzi berubah masam. Andai Kirani tak sedang sakit, sudah dipastikan Harzi akan menggelitiknya hingga menangis dan memohon ampun.
"Tapi Ayah emang nangis."
"Nggak apa-apa, Bunda suka."
"Kenapa Bunda suka?"
"Hmmm, mungkin karena Ayah akan selalu butuh Bunda kalau lagi sedih?"
"Kalau lagi senang?"
"Ya sama komputer aja."
"Kamu jangan fitnah, dong." Harzi nyeletuk tak terima, walau nyatanya memang begitu.
"Jadi boleh ya, Acan di sini sama Bunda?"
Pertanyaan itu membuat keduanya lantas berpandangan. Kali ini sorot mata Kirani memohon untuk Harzi menjelaskan perihal ini kepada Kazan dengan sebaik-baiknya.
"Kalau menurut Ayah, kamu nggak harus di sini sama Bunda. Aa' kan harus sekolah tuh, nanti Ibu Guru marah kalau kamu kelamaan nggak masuk. Bisa-bisa kamu dikeluarin dari sekolah, kamu tahu? Kalau nggak lulus TK kamu nggak bisa lanjut Sekolah Dasar. Ayah sama Bunda nggak mau jagoan kami jadi bodoh cuma karena susah nurut."
Jelas Harzi panjang lebar. Kazan kemudian menoleh pada Kirani, menuntut pembenaran sebab biasanya si Ayah suka mencandai semua hal, termasuk bahasan serius sekalipun. "Benar Bunda?"
KAMU SEDANG MEMBACA
until we're grey and old [✔]
Fanfiction[ read after "look how we've grown" ] I'll take the kids to school, wave them goodbye, and I'll thank my lucky stars for that night. ©tuesday-eve, 2021.