"Bun. Bunda."
Kirani tersentak dalam tidurnya, panggilan barusan mengubah firasatnya jadi tak enak. Apalagi saat dirinya membuka mata, suaminya telah berpakaian lengkap, membuatnya lantas menoleh ke arah jam untuk mengecek waktu.
Pukul 4 subuh.
"Mau ke mana?"
"Aku dapet laporan kalau rumah makan cabang sini kebakaran."
Demi apapun dada Kirani mencelos mendengarnya, dengan segera ia bangun dan membantu mengemasi barang-barang penting yang sekiranya Harzi butuhkan. "Udah ditelepon pemadamnya?"
"Udah." Sahutnya singkat. "Biar aku aja yang pergi, kamu jaga Kazan."
"Hati-hati, Ayah. Jangan ngebut, tolong."
Lalu menghilanglah Harzi di balik pintu, Kirani bahkan tak sempat mengantarkannya ke bawah saking bergegasnya pria itu pergi. Kirani hanya bisa berdo'a semoga cobaan kali ini tidak membawa dampak yang terlalu buruk untuk mereka.
Kini sudah tengah hari, namun Harzi tak kunjung mengabari. Dua kali teleponnya juga tidak dijawab, Kirani akhirnya berinisiatif untuk bertanya pada Wawan, sebab Harzi pasti telah menghubungi pemuda itu, mungkin jadi yang paling pertama.
"Halo, Mbak Kiran?"
"Wawan, kamu sama Harzi?"
"Iya. Kita udah di kosan, Mbak. Bang Zi nya lagi tidur. Kayaknya kecapekan habis bantuin yang lain beresin barang-barang."
Namun Kiran malah mengernyit. "Bisa tolong kirimin foto kondisi rumah makannya sekarang?"
"Bisa Mbak. Kalau gitu saya matiin ya?"
"Kalian jangan sampai telat makan. Bilangin, kalau ke mana-mana, hati-hati."
"Siap. Mbak Kiran nggak usah khawatir, kondisinya udah aman. Tadi juga sama yang lain Bang Zi udah makan."
"Kalau gitu makasih ya, Wan."
"Sama-sama, mbak."
Telepon berdurasi singkat itu terputus. Entahlah, Kirani merasa hatinya belum juga tenang. Apalagi di sana sama sekali tak menunjukkan tanda-tanda seseorang tengah beristirahat. Malah sekilas terdengar suara Harzi sedang marah-marah tertangkap olehnya sedetik sebelum teleponnya ditutup. Lalu sebuah pesan berisi foto dikirim oleh Wawan, dari situ Kirani percaya, kalau ucapan Wawan barusan adalah dusta semata.
Terbukti saat malam menjelang, Harzi tak kunjung menampakkan batang hidungnya. Tiga kali sudah putranya bertanya di mana ayahnya sekarang, dan Kirani hanya bisa menjawab kalau ia masih sibuk dengan pekerjaan seperti hari-hari sebelumnya.
"Tapi aku belum ketemu Ayah dari bangun, sekarang udah mau tidur, Ayah belum pulang juga."
"Ayah sibuk, Kazan. Nanti kalau dia pulang Bunda bilangin buat nyusul kamu di kamar, oke sayang?"
Kazan mendengkus pelan, lalu berjalan ke kamar dengan kaki yang dihentakkan. "Sibuk terus!"
Kirani juga bisa apa? Bahkan ia sendiri pun belum bisa lagi mendengar kabar sang suami hingga detik ini. Ia juga tak ingin menganggu, karena firasatnya berkata bahwa hal yang terjadi pagi ini benar-benar fatal. Belum lagi sifat Harzi yang terbiasa melupakan segalanya jika sedang sibuk akan sesuatu, dan sedihnya Kirani harus mengerti hal itu.
Pukul dua belas kurang lima, beberapa pesan berturut-turut masuk. Kirani belum tidur, masih berharap kalau suaminya akan pulang dan berbagi cerita dengannya, namun sepertinya harus sirna karena sekarang Harzi malah mengabari kalau dirinya tidak akan pulang malam ini, setelah sebelumnya meminta maaf karena tak sempat berkabar dengan Kirani seharian. Lalu berlanjut menerangkan kondisinya yang katanya baik-baik saja meski Kirani tahu itu bohong besar, dan terakhir mengirim beberapa foto yang ia ambil pasca kebakaran tadi. Dan setelah itu, Harzi tak lagi membalas pesannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
until we're grey and old [✔]
Fanfiction[ read after "look how we've grown" ] I'll take the kids to school, wave them goodbye, and I'll thank my lucky stars for that night. ©tuesday-eve, 2021.