5. Nggak Apa-Apa, Abang.

1.2K 274 70
                                    

"A', Ayah mau ngomong." Ujar Kiran kemudian mengarahkan ponselnya ke arah Kazan yang sedang membaca buku dongengnya sendiri. Ibu dan anak ini memang sudah akan tidur ketika Si Ayah menelepon mereka.

"Mau dibeliin apa, A'?" Tanya Harzi dari seberang sana, ia sendiri belum pulang ke hotel karena masih asik berkeliling mengunjungi setiap toko untuk membeli oleh-oleh. Berhubung ini malam terakhirnya di luar kota setelah tujuh hari full berada di sana.

Kazan lalu mendongak menatap Sang Bunda. "Kalau bunga itu, oleh-oleh apa bukan?"

"Aa' mau bunga?" Tanya Kiran yang dibalas anggukan olehnya. "Buat apa?"

"Abang."

Baik Kiran maupun Harzi sama-sama terdiam. Lalu akhirnya Kiran bertanya lagi. "Abang mau bunga juga?"

"Nggak tahu. Tapi, kemarin temen Aa' beli bunga yang bagus. Aa' mau itu."

"Bunga apa kalau boleh tahu?"

"Nggak tahu namanya. Tapi aku pengen ngasih itu ke abang juga..." Gelengnya dengan tatapan polos. "Boleh, kan?"

"Boleh. Besok kita ke toko bunga. Nanti Aa' pilih bunga yang sama kayak temen Aa'. Oke? " Ujar Sang Ayah. Kazan yang sudah dipeluk Bundanya terlihat mengangguk tanpa mengeluarkan sepatah kata lagi. Harzi kemudian menyudahi dan segera membayar belanjaannya, dengan Wawan yang masih setia menemani.

"Si Aa' kangen almarhum abangnya, ya?" Tanya Wawan sesaat setelah Kiran mengakhiri panggilan mereka. Harzi berdeham mengiyakan. "Kayaknya pengen ngadu sesuatu ke abangnya lagi."

"Biasanya begitu, Bang? Padahal, mereka nggak pernah ketemu langsung..." Sebagai sosok yang bisa dibilang telah terlibat sekian tahun di kehidupan keluarga Harzi, Wawan sedikit banyak tahu tentang apa saja yang terjadi di sana. Terlebih, Harzi juga kerap bercerita mengenai si putra semata wayang yang begitu menginginkan sosok saudara.

"Demi apapun, gue ingin. Tapi lo tahu gimana kondisi istri gue sekarang. Dia udah terlalu banyak nanggung sakit, gue nggak mau membebani dia lagi." Kesahnya dengan kepala tertunduk, menatap ponsel yang menampilkan foto istri dan anaknya. "Gue masih inget, jelas banget. Gimana sakitnya dia pas Kazan lahir. Dan gua cuma di sebelahnya, nggak bisa ngapa-ngapain. Setengah mati dia nanggung komitmen berdua, Wan."

Wawan tidak akan mengerti, bagaimana campur aduknya perasaan menjadi seorang Suami, Ayah, dan kepala keluarga. Wawan tidak akan tahu, perjuangan Harzi menjadi satu-satunya topangan saat istrinya berada di masa terpuruk dalam hidupnya. Maka dari itu Harzi selalu berpesan, untuk jangan pernah menyakiti hati wanita yang ia cinta.

"Cinta itu juga soal kerelaan dan kesediaan, Wan. Terima dia setulus hati, tanpa terkecuali. Istri gue pernah bilang, kalau kita udah mencintai seseorang, itu artinya kita udah siap nerima semua resiko yang ada. Jangan berani komitmen kalau nggak siap hadepin hal buruk tentang dia. Sekacau apapun masalah yang menimpa, jangan sekalipun lo kepikiran buat ninggalin dia. Karena lo nggak pernah tahu, balasan seindah apa yang bakal lo dapetin kalau berhasil bertahan dengan dia."

"Gue dulu ancur banget, demi. Bodohnya, gue nggak pernah kepikiran soal karma. Itu salah satu kesalahan yang nggak bisa gue maafin sampai hari ini. Yang lo harus tahu, apa yang lo lihat di gue sampai hari ini, itu nggak akan pernah terjadi kalau Kiran nggak jadi istri gue."

Wawan bisa lihat kesungguhan Harzi mengucap kalimat itu. Seolah Kirani adalah satu-satunya hal yang bisa membuatnya bertahan hidup hingga detik ini. Wawan tidak tahu, seberat apa perjuangan mereka untuk bisa sampai di fase ini. Sebab dengar-dengar, pernikahan dini bukanlah hal yang mudah untuk dijalani. Wawan pun belum mengerti alasan bosnya ini mengambil keputusan dengan membina rumah tangga di usia yang masih muda. Yang ia pahami, ternyata seorang wanita yang sering digampangi hatinya, bisa merubah hidup seseorang sampai segininya.

until we're grey and old [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang