"Acannn! Hhhh, kok nggak ditungguin sih?!" Seru Shanum sambil ngos-ngosan usai berlari dari sekolah seberang yang masih satu lingkup dengan milik Kazan.
"Kenapa?"
"Pulangnya sama aku nggak?"
"Enggak."
"Whyyyyy?"
"Mau ikut Ayah sama Bunda."
Shanum kontan mendesah kecewa. "Oh iya, semalem kamu nggak apa-apa, kan?"
Pertanyaan tersebut seketika merubah raut di wajah Kazan. Kepala yang semula memandang lurus ke depan kini jadi merunduk dan jalannya melambat. Buat Shanum bingung sampai berpindah ke hadapan Kazan untuk memastikan keadaannya. "Heli? Kenapa??"
Namun Kazan malah tersentak dan lantas melanjutkan langkah dengan terburu-buru. Shanum pun jadi merasa kalau tangisan keras yang semalam terdengar sampai di rumahnya itu benar si Kazan. Ada masalah apa, ya? Apa si Ayah dan Bunda mertua baik-baik saja? Pikirnya.
"Acan! Tunggu di sini aja!"
Serunya menahan ketika Kazan mulai terus meninggalkan area taman bermain yang biasa para murid gunakan untuk menunggu jemputan. Sebab meski keduanya tak pulang bersama, kedua orang tua mereka akan tetap menyuruh untuk menunggu di spot yang sama. Lalu karena Kazan sama sekali tak mengindahkan panggilannya, Shanum jadi ikut-ikutan meninggalkan area sekolah yang berhadapan langsung dengan jalan raya, tempat Kazan kini berada.
"Acan! Nanti Bunda marah!"
Beberapa orang juga sudah mewanti dua anak kecil ini agar tetap berada di sekolah, Shanum mendengar sedangkan Kazan tidak. Ia terisak dan berlari menyusuri trotoar, begitu Shanum hendak mengejarnya salah seorang orang tua murid tiba-tiba menahan dan memaksanya untuk kembali. Tapi Shanum tidak akan membiarkan si soulmate sendirian di luar sana begitu saja. Dengan cerdiknya ia menggigit tangan orang tadi hingga berhasil melepaskan diri, gadis kecil itu kemudian berlari mencari dan memanggil-manggil nama Kazan karena mulai khawatir dengan keramaian yang ia temui. Kazan belum terbiasa dengan keramaian tanpa orang tua yang mendampingi.
"Acan!" Anak itu akhirnya ditemukan berjongkok sembari menelungkupkan wajah di lipatan lengan di dekat bangku halte seorang diri.
Kazan yang menyadari kedatangan Shanum pun spontan berdiri dan mengancam akan menyebrang jika Shanum terus mengikutinya.
"JANGAN IKUT!"
"Ini bahaya Acan! Kalau kamu celaka, Bunda sama Ayah bakal sedih!" Sekuat tenaga ia menarik tangan Kazan agar menjauh dari lalu lintas di hadapan mereka. "Lihat ke depanmu!"
Dan ketika Kazan mencoba mendongak, ia langsung menangis sejadi-jadinya. Jalan raya dan seisinya terlalu menakutkan hingga membuat tubuhnya mulai gemetar hebat. Sadar Kazan diserang panik, Shanum bergerak cepat dengan memeluknya dan sebisa mungkin menyembunyikan wajah Kazan agar berhenti melihat keadaan sekitar.
"Acan bernapas! Bunda bilang jangan sampai sesak."
"Aku takut... aku takut... Hiks, Ayah... Bunda... Di mana...." Kazan mulai meracau. Shanum sendiri sedang berusaha meraih botol air di dalam tasnya, seperti yang selalu mamanya beri jika melihat papa atau Shanum sendiri panik. "Anum di sini, jangan takut."
Beberapa saat setelahnya dua orang guru datang menjemput mereka. Keduanya terlihat panik dan ngos-ngosan sebab Kazan dan Shanum sudah pergi terlalu jauh. Setelah memastikan tidak ada yang terluka, mereka kini berusaha membujuk Kazan yang tak ingin melepas peluknya dari Shanum dan hanya terus menangis di sana. Badannya mulai memerah akibat terpapar sinar matahari dan lagi, Kazan belum sempat makan dan minum apapun di jam istirahat tadi karena mendadak tak berselera makan.
KAMU SEDANG MEMBACA
until we're grey and old [✔]
Fanfiction[ read after "look how we've grown" ] I'll take the kids to school, wave them goodbye, and I'll thank my lucky stars for that night. ©tuesday-eve, 2021.