"Acan lagi apa, Ma?"
"Lagi siap-siap nih, mau ke tempat golf sama para kakek. Mancingnya baru nanti sore."
"Kakek siapa?" Wajah Harzi mendadak muncul memenuhi layar, sepertinya baru selesai mandi.
"Kakeknya Anum, sama Kakek Cayo juga."
Tak sadar Kiran tertawa, panggilan untuk papanya lucu sekali. Semua berawal dari Harzi sewaktu Kazan masih berusia sekitar 3 atau 4 tahun. Karena belum terlalu fasih berbicara, jadi Harzi sering sekali mencontohkan anaknya untuk memanggil si papa mertua dengan sebutan. "Hey Cayo, hey Cayo... dia kakeknya Acan."
"Nini?"
"Katanya udah di jalan. Kakeknya Anum bawa mini van. Ini kita lagi nunggu dijemput." Jawab Joya, kamera lalu berganti menyorot Kazan yang sudah lengkap dengan setelan baju menggemaskan.
"Kembaran sama grandpa, ganteng sekali anak Bundaaa." Kiran memekik gemas, sedangkan Harzi masih mengamati putranya dari atas hingga bawah, sudah itu manggut-manggut. "Kayaknya Aa' emang udah siap buat jadi abang."
"Ayah juga udah siap buat jadi kakek lagi!" Sahut Johnny mengacungkan jempolnya di belakang sana.
"Bunda."
"Iya sayang?"
"Grandpa ngajak aku rock climbing."
"OH COME ON, A'! Kita udah sepakat nggak bilang-bilang soal ini."
Kiran tidak berucap apa-apa, Harzi nya yang komat-kamit memperingatkan banyak ini itu pada ayahnya. "Si Aa' takut tinggi, Yah. Nanti kalau kepentok batu terus amnesia gimana?"
"Siapa juga yang mau bawa anak kecil ke tebing? Kan ada di emol, lebih safety."
"Tetep aja. Nanti kalau anaknya nangis nyariin Bundanya gimana?"
"Tapi Acan penasaran...."
"Kalau Acan mau, boleh aja. Grandpa pasti bisa jagain Acan. Kalau sama Bunda, kayaknya Acan nggak pernah main kayak begitu, ya?"
Harzi kontan menepuk jidat. Bisa ia terka, kalau honeymoon hari ketiga ini akan ia habiskan dengan menenangkan dan meyakinkan sang istri bahwa dirinya adalah Ibu yang baik, peduli, penyayang, penuh kasih, perhatian, dan tidak pernah mengecewakan siapapun diantara mereka.
Di sisi lain, Kazan hanya membisu melihat raut wajah bundanya yang mendadak berubah sesaat setelah ia mengucap kalimat itu. Kazan tahu bundanya mudah sedih terhadap segala sesuatu yang menyangkut tentangnya. Di tiap malam pun, Kazan akan selalu mendengar ucapan maaf di sela kalimat selamat tidur untuknya. Entah untuk alasan apa bundanya selalu saja meminta maaf. Bahkan jika itu bukan salah siapa-siapa, Kiran akan selalu membebankan semua hal pada dirinya.
"Mah, Harzi tutup, ya? Titip salam buat Cayo sama Om Jepri. Wasalam!"
Pip pip!
"HELIIIIIIII."
Shanum muncul dari arah luar. Hari ini ia mengenakan setelan lengan panjang berwarna ungu muda. Karena jika tidak begitu, maka papanya akan mengomel panjang lebar bila kulitnya memerah setelah terpapar sinar matahari.
"Hai! Kamu ganteng banget hari ini."
"Dan aku harus bilang apa?"
"Makasih, kamu juga cantik." Cengir si gadis. "Kalau nggak mau bilang, kamu harus duduk di sebelah aku."
"Kalau ada-"
"Enggak ada! Kamu duduk di sebelah aku. Ayo!"
Dan ya, Kazan tidak pernah bisa menolak. Bukan berarti ia suka. Hanya saja, tidak mudah. Persis seperti apa yang Kiran rasakan pada Harzi yang selalu mengajaknya untuk pergi bersama kala keduanya belum jadi siapa-siapa. Atau paksaan Jaffie yang meminta Shanin agar menerimanya menjadi kekasih dalam waktu kurang dari empat belas hari. Rasanya seperti itu, tak ingin, namun menekan untuk diterima.
KAMU SEDANG MEMBACA
until we're grey and old [✔]
Fanfiction[ read after "look how we've grown" ] I'll take the kids to school, wave them goodbye, and I'll thank my lucky stars for that night. ©tuesday-eve, 2021.