13. Pupus

927 224 85
                                    

"Ayah. Acan boleh tanya?"

Ujarnya hati-hati. Kazan sudah tidak tahan ingin mengetahui kondisi sang ibu yang bahkan belum pernah ditemuinya seharian ini. Ngomong-ngomong sekarang sudah lewat tengah malam, namun ayah dan anak itu masih saja terjaga. Keduanya sama-sama dilanda resah, Harzi sibuk memikirkan sejuta cara untuk membuat istrinya lekas pulih, dan Kazan yang juga memikirkan banyak sekali kemungkinan dari mengapa bundanya yang tersayang mendadak dirawat seperti ini.

"Tanya apa?"

Kazan berdeham, takut-takut ia menoleh pada sang ayah. "Bunda sakit apa?"

Dalam posisi yang setengah berbaring Harzi melirik bocah lelaki yang terbalut selimut hingga hanya menyisakan dua manik turunan ibunya.

"Kalau kamu tahu, apa yang bakal kamu lakuin?"

"Peluk Bunda." Jawabnya langsung, membuat kernyitan sesaat muncul di kening Harzi. "Dan?"

"Dan berdo'a? Bunda bilang Tuhan maha kuasa, mungkin dia bisa bikin Bunda cepat sembuh."

"Cuma itu?"

"Memangnya ada lagi?"

Harzi pun menghela napas. Entahlah, di saat seperti ini rasanya ia tak ingin menggantungkan harapan kepada siapapun kecuali dirinya sendiri. "Dokter juga belum mastiin."

"Hng? Jadi Ayah juga belum tahu?"

"Mungkin."

"Acan nggak ngerti."

Dan Harzi tak mengatakan apapun lagi setelahnya, tubuhnya dimiringkan membelakangi Kazan yang masih kebingungan. Jadi sebenarnya Ayahnya sudah tahu atau belum? Mengapa jawabannya terasa begitu ambigu?

Di keesokan hari, Kazan terbangun karena guncangan mendadak dari tempat tidur yang seingatnya ia dan sang ayah tiduri semalam. Namun sosoknya sudah menghilang dan digantikan oleh si oji yang kini cengar-cengir di sebelahnya.

"Selamat siang anak beruang!"

Apa katanya? Siang? Wah, Kazan jarang sekali tidur sampai matahari meninggi. Sebab biasanya ia dan bundanya lah yang akan menjemput sang surya dari peraduan.

"BUNDA!"

Kazan spontan berlari menuruni anak tangga untuk menemui sang bunda. Namun sayang, kamar itu sudah kosong, tidak ada sosok Kirani lagi di sana. Kazan mulai menangis, merasa orang tuanya telah melanggar janji untuk berpamitan kepada Kazan kemana pun mereka pergi. Sebab mereka tahu kalau Kazan paling tidak suka jika tidak tahu menahu soal ke mana orang tuanya menuju. Ia selalu takut jika salah satu dari mereka tidak kembali, dan bila Kazan tak tahu mereka di mana, maka ia tidak akan tahu ke mana harus mencari.

Suara tangisan itu lalu terdengar oleh Irene yang baru selesai bersiap dan memang hendak menemui Kazan untuk dipersiapkan juga. Bergegaslah ia meraih cucunya ke dalam gendongan setelah menemukannya menangis di depan kamar sang ibu.

"Acan kenapa nak?"

"Nini... Bundaku mana?"

"Bunda sama Ayah kamu ke rumah sakit."

"Kenapa Acan nggak ikut?!"

"Ayahmu nggak tega bangunin, dia bilang kamu berangkatnya sama Nini sama Oji aja nanti."

"Acan nggak suka! Hiks."

Dan Irene hanya bisa memeluknya, berusaha menenangkan agar mereka bisa berangkat lebih cepat. Sebab Cahyo baru saja mengabari kalau dokter sudah meminta keputusan, soal persetujuan untuk melakukan operasi pada putri mereka secepatnya.

until we're grey and old [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang