"Bukankah kau tahu dia bukan boneka?"Serena mematung mendapati diriku yang membela Lynn. Dengan dingin, ia memandangiku dan Lynn secara bergantian. Kemudian, matanya menyipit ketika terfokus pada Lynn.
"Senika, kau tidak tahu apa-apa," sinisnya kecut. "Sampai kapanpun, kau tidak akan pernah mengerti perasaanku!"
Gadis itu pun bergegas meninggalkanku. Punggung kecilnya semakin menjauh dari gazebo tempatku termangu. Kini, sosoknya itu lenyap dari pandangan.
"Huahh," dengusku. Rencanaku menjadi gagal total dikalahkan oleh rasa empatiku.
"No-na." Lynn mengalihkan perhatianku.
"Lynn, bagaimana keadaanmu?" Aku mendekatinya yang sedang terkapar.
"Terimakasih sebelumnya, Nona. Saya baik-baik saja." Ia meringis, menahan perih luka di wajahnya.
"Sebentar, aku akan mengobatimu."
"Tidak perlu, Nona."
"Ssst!" desisku, sambil menaruh jari telunjuk di bibirku.
Beruntungnya, aku memasukkan obat-obatan di dalam tasku. Aku berjaga-jaga jikalau Serena bertingkah nakal. Tanganku segera meraih sebotol campuran air garam (0,5%) dan kain kasa steril. Aku menyirami dan menutup bagian lukanya
"Nona ̶̶ "
"Tidak apa-apa. Aku sudah biasa"
"Hah?"
Refleks, aku menutup mulutku rapat-rapat. Hampir saja aku kelepasan membeberkan pekerjaanku. Padahal, aku putri bangsawan yang seharusnya tidak melakukan hal remeh menurut aristokrat; seperti merawat luka orang lain.
"Ehm, haha. Lupakan."
***
Setelah mengobati Lynn, aku bergegas ke perpustakaan mansion. Rencanaku yang berikutnya adalah belajar soal bisnis, alkimia, manajemen, geografi, topografi, perniagaan, dan ilmu-ilmu lainnyayang kubutuhkan.
Belajar itu juga perlu agar memperkaya pengetahuan. Pengetahuan itu akan berguna di masa depan. Kau bisa menebak mengapa aku belajar ini dan kaitannya dengan masa depan Senika.
Selama beberapa hari, aku mencoba belajar lagi, merangkak dari bawah. Aku mulai membiasakan diri membaca dan merangkum materi dari buku perpustakaan. Aneh memang. Meskipun aku bukanlah orang dari dunia ini, aku sudah mengerti mengenai huruf dan bahasa asing yang digunakan. Mungkin saja, ini karena aku menggunakan otak Senika.
Buk
Buku Hukum Perniagaan Dawnell kututup rapat-rapat.
"Saatnya makan siang!"
Pintu terbuka dan aku berjalan melewati lorong. Kusempatkan diri melongok ke kamar Serena, tapi anak itu tidak ada di sana. Kurasa, dia masih marah padaku. Ya sudah, apa boleh buat. Aku pun mendatangi dapur untuk mengecek kesiapan makanan.
"Apa kau tahu?" Rinka meletakkan apel yang dipungutnya. "Tadi pagi bocah pembunuh itu berulah lagi."
"Hei, jangan keras-keras!" sahut salah satu koki dapur.
Rinka yang mengelap apel mulai membuka topik, "Target si Iblis kali ini adalah budak berambut putih itu. Kau tahu, penjaga kandang kuda yang pernah menghinanya terang-terangan di depan wajahnya?"
Lawan bicaranya merespon, "Ahh, Lynn yang itu, yang berteriak dia monster pembunuh Nona (Senika) dan Duchess?"
"Apa?"
Ternyata Lynn pernah menghina Serena. Lynn seharusnya tidak boleh melecehkan harga diri bangsawan sembarangan. Berani sekali ia terhadap Serena.
Kemudian kasar sekali ucapan tadi. Mereka menyebutnya Iblis, Monster, dan Pembunuh.
KAMU SEDANG MEMBACA
I Don't Want The Male Lead's Obsession
FantasiSenika Chester adalah seorang Lady "Mawar Biru" yang paling dicintai sekekaisaran. Ia memiliki segalanya; mulai dari kecantikan, kekuatan, kehormatan, hingga kekasih impian para gadis. Hidupnya diberkahi berwarna-warni kasih sayang yang tiada hentin...