Bagian 27 : Aku tidak peduli

5.9K 891 68
                                    

Reyner hendak membuka mulutnya, namun sebelum itu kusanggah. "Lord, apakah kau ingat kita sedang menyamar?" bisikku.

"Barusan kau bilang kau mau semuanya, 'kan?"

"Tidak! Aku tidak serius mengatakannya! Tolong, jangan!" mohonku, sembari menyatukan kedua telapak tangan.

Luke tertawa kecil. Tawa yang pada dasarnya tidak asing, karena dia pernah seperti itu saat mengerjaiku.

Pria bersetelan hitam itu kemudian mengusap kepalaku yang masih terlindung penutup. "Baiklah, apapun yang kau inginkan," tuturnya.

Luke lantas menoleh ke para pelayan yang menjaga perhiasan. Lalu, menunjuk sebuah kereta kuda di seberang jalan dengan jempolnya. "Bisa kalian kirimkan semua yang di meja ini ke kereta di sebelah sana?"

"Baik, Tuan. Harganya ...."

"Tulis itu di cek ini!" Luke menyerahkan selembar kertas panjang ke Reyner.

"O-oke. Terimakasih sudah berbelanja!" susul Reyner kemudian.

Reyner meraba cek berlapis emas itu. Sepasang matanya berbinar-binar. Sementara Luke buru-buru menarikku keluar dari toko. Aku mengikutinya tanpa berkutik.

***

Kini, kami berpindah ke sebuah toko pakaian terbesar di ibukota. Namun, belum semenit waktu berjalan, Luke kembali menoleh ke jendela transparan. Matanya tertuju pada kios yang berderet di pinggir jalan. Lantas, ia memegangi pundakku.

"Kau bisa mencoba beberapa gaun di sini. Tidak keberatan 'kan kalau kutinggal sebentar?" tanya Luke.

"Tidak masalah."

Malah bagus kalau dia tidak ada. Tiap kali dirinya berada di sampingku, aku merasakan tekanan batin.

"Baiklah. Aku pergi dulu," pamitnya, sembari mengelus kepangan rambutku lalu mengecupnya ringan.

Sosoknya lekas menghilang sehabis lonceng pintu bergoyang. Ketika dia benar-benar pergi, aku mengistirahatkan diriku di sofa yang disediakan.

Peduli amat dengan baju-baju yang menggantung di rak. Aku tidak tertarik untuk menjajalnya.

Sejak awal, Luke dan surat itulah yang terpenting bagiku. Setelah ini, aku akan memilih salah satu set gaun dan segera menyelesaikan kencan ini.

"Oh, lihat? Siapa ini? Bukankah ia mirip Lady yang angkuh itu?" cetus seorang wanita bergaun tebal yang menghampiriku. Ia mengarahkan ujung kipas tangannya ke arahku.

"Sangat angkuh sehingga menolak berlian berharga. Padahal yang lain berebut untuk mendapatkan berlian itu," ujar sang Dayang yang mendampinginya.

Oh, ternyata mereka sedang menyindirku yang menolak berdansa dengan Luke malam itu. Aku tak menggubrisnya. Sebab, sindiran itu tidak ada artinya untukku.

Kuakui mata mereka jeli juga. Mereka lebih mengenalku dibanding Reyner yang sudah lama menjadi bawahanku.

"Tapi bukannya itu karena dia wanita murahan? Kudengar, dia mengundang si Hakim sok kritis itu ke rumahnya."

"Hahaha, pasti sebentar lagi undangan pernikahan akan tersebar. Bisa saja dia 'mengandung benih' duluan kan?"

Brak

Dengan sengaja, kutendang penyangga sofa di belakangku---membuat seisi toko memperhatikanku. Kedua wanita di hadapanku membelalak kaget, sedangkan aku tersenyum miring.

"Ups, maaf. Aku hanya terkejut mendengar kabar burung yang mengusik telingaku," sinisku, seraya menempelkan jemari ke bibirku. Aku sengaja menggunakan bahasa informal.

I Don't Want The Male Lead's ObsessionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang