Satu

12K 1.1K 41
                                    

Tahun demi tahun putra dari Park Seojoon tumbuh dengan baik dan sehat. Kulit seputih susu, mata yang tidak terlalu besar namun indah berwarna coklat madu. Bibir tebal berwarna merah alami tanpa polesan apapun.

Park Jimin--begitu Seojoon menamai putranya-- tumbuh menjadi anak yang mempesona bahkan diumurnya yang baru menginjak sepuluh tahun.

Jimin tumbuh menjadi anak yang aktif dan ceria. Menjadi putra satu-satunya dari Park Seojoon dan Park Minyoung pengusaha kaya raya tidak menjadikan Jimin anak yang sibuk belajar cara menjalankan perusahaan, dirinya dibebaskan oleh Seojoon untuk memilih bidang apa yang ia gemari.

Jimin menyukai sepak bola dan seni beladiri, bahkan sejak setahun terakhir atau sejak umurnya sembilan tahun, Jimin ikut kelas latihan kendo--olahraga pedang-- juga ikut kelas taekwondo. Seojoon tidak melarang, dirinya bahkan senang jika anaknya punya pemikiran untuk belajar beladiri sejak kecil. Asal pelatihnya tidak sembarangan dan putranya tetap aman.

Namun hari ini Seojoon sedikit menyesali pihak sekolah Jimin yang membiarkan putranya bermain bola bersama anak-anak yang lain tanpa pelatih yang mengawasi mereka. Jimin terkena bola tepat di perut mengakibatkan pendarahan. Seojoon jelas khawatir, bahkan Park Minyoung istrinya sudah menangis sejak tadi menunggu dokter selesai memeriksa putra mereka.

Begitu dokter keluar Minyoung dengan cepat menghampiri sang dokter, "Bagaimana putraku? Dia baik-baik saja? Kenapa sampai berdarah? Apa sangat parah?"

Minyoung terus menghujami pertanyaan beruntun pada dokter sampai membuat dokter tersebut sedikit bingung ingin menjawab yang mana dulu.

Seojoon menyentuh bahu istrinya, "Bersabar sedikit, Minyoung. Biarkan dokter menjawab pertanyaanmu satu-persatu."

Merasa ibu dari pasiennya sudah sedikit tenang, dokter mulai berbicara, "Sebaiknya kalian ikut aku ke ruanganku." Dokter tersebut berjalan terlebih dahulu yang diikuti oleh Seojoon dan Minyoung.

Sesampainya diruangan dokter tersebut Minyoung kembali bertanya, "Jadi kenapa putraku berdarah?"

Dokter tersebut menghembuskan napas berat, "Benturan bola itu cukup keras sampai membuat dinding rahim dalam tubuh putramu sedikit terluka, namun itu sudah tidak apa-apa."

Baik Seojoon maupun Minyoung menegang. Mereka terkejut. "A-apa katamu. Rahim? Putraku punya rahim? Kau tidak salah?" Mereka sedang tidak salah dengarkan?

Dokter tersebut mengangguk, "Iya. Setelah kuperiksa pendarahan itu dari rahim miliknya. Aku pernah mendengar ada pria yang mempunyai rahim tapi aku tidak pernah menangani kasus itu secara pribadi, ini pertama kalinya."

Minyoung membekap mulutnya dengan tangan, air matanya menetes. Dirinya tidak percaya ini. Seojoon mengusap-usap bahu istrinya, "Apa tidak apa-apa? Apa itu berarti berbahaya? Putraku laki-laki, adanya rahim pada dirinya apa tidak berbahaya?"

"Tidak berbahaya jika tidak terbentur seperti tadi. Lain kali lebih jaga putramu dan jauhkan benturan apapun dari perutnya. Jika terjadi pendarahan lagi, segera hubungi saya."

Seojoon mengangguk. Ia menuntun istrinya untuk keluar ruangan dokter tersebut dan pergi menuju ruang putranya. Mengetahui fakta sebesar ini membuat dirinya ikutan kaget luar biasa, namun dirinya harus bersikap biasa saja disamping istrinya.

Tanpa bisa dicegah, ucapan wanita tua pada dirinya sepuluh tahun yang lalu terus berputar dikepala Seojoon. 'Dari rahimnya akan lahir pemimpin hebat setiap kerajaan.'

Seojoon menyentuh kepalanya yang berdenyut sakit. Itu tidak mungkin.

***

Queen [Kookmin/Jikook]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang