12 September 2014
"And I don't even know your name
All I remember is
that smile on your face."
—I Don't Even Know Your Name, Shawn MendesSemangkuk soto ayam di tanganku nyaris tumpah akibat murid-murid di kantin yang mengapitku di kanan-kiri. Setelah berjuang melewati mereka, aku akhirnya menemukan sebuah meja kosong di depan gerobak baso Pak Giman. Tanpa buang-buang waktu, aku segera berjalan ke arahnya.
Tapi terlambat, meja itu kini sudah ditempati.
Aku celingukan, mencari meja lain yang masih kosong. Sulit, dengan orang-orang yang berjejal dan tinggi badanku yang sama seperti sepupuku yang masih kelas 2 SMP.
"Woi, duduk aja di sini," kata laki-laki yang menduduki meja tadi.
"Hah? Ngga usah. Gue bisa cari tempat lain," jawabku yang masih celingukan.
Dia terkekeh. "Emangnya ada tempat kosong lagi?"
Setelah mencari-cari selama lima menit, aku memutuskan untuk menerima tawarannya, berhubung soto ayam di tanganku sudah mulai mendingin. Ia lanjut memakan nasi gorengnya, sedangkan aku masih canggung untuk sekadar menyeruput es jerukku. Karena mulai keroncongan, aku akhirnya mengalah dengan ego dan mulai menyuap soto ayam tadi.
"Dibilangin nggak ada. Keras kepala."
Aku yang sedang asyik melahap makananku, mendongak lalu menatapnya tajam.
"Iya, deh. Maaf. Yaudah makan aja. Gue ga ganggu," katanya.
"Lo anak XII IPA 3 ya?"
"Gue sering liat lo deh di perpus lagi pakai earphone."
"Bawa-bawa bukunya Haruki Murakami. Tiap hari beda-beda. Lo punya berapa, sih?"
Aku menghentikan makanku, sekali lagi menatapnya dengan tajam. "Tadi lo bilang, lo ngga bakal ganggu gue makan kan?" tanyaku sambil meletakkan sendok sembarangan, membiarkannya berenang di kuah berwarna kuning itu. "Lo tau ngga? Dengan lo ngomong terus, lo udah ganggu gue."
Dia mengacak-acak rambutnya. "Maaf, deh. Yaudah sekarang gue diem."
"Telat. Gue udah ga nafsu makan," kataku sambil beranjak meninggalkannya.
--
Aku berjalan melewati rak-rak buku, masih belum bisa menemukan buku anatomi tubuh manusia yang kucari. Tiba-tiba ada sesosok laki-laki berdiri di sampingku. Kaget, aku menjerit kecil.
"Astaga, lo lagi lo lagi."
Dia tertawa, lalu melirik ke tangaku. "Tumben nggak bawa Haruki Murakami."
"Can you just shut up? Or you better go away."
Bukannya takut dan pergi, dia malah tersenyum lebar. "Gue Aji, anak IPA 2."
Aku terperanjat, namun tetap berusaha tenang. Jadi ini yang namanya Aji?
"Gue nggak pernah liat lo," kataku.
Aji mengangkat kedua bahunya. "Iya, gue jarang ada di kelas...."
Aku memotong omongannya. "Tapi lo juga nggak pernah ada di kantin."
"Tadi?"
Lagi-lagi, ia tersenyum, seperti itu adalah satu-satunya hal yang bisa ia lakukan. "Kecuali tadi. Gue lebih sering di sini kalau kelas temen-temen gue belum pada selesai. Atau ke belakang, deket gudang," katanya. "Lo sering ke sini tapi nggak pernah liat gue?"
Aku menggeleng. "Nggak sama sekali."
"Makanya lain kali, aware sama keadaan sekitar lo, jangan baca 1Q84 mulu."
Aku menatapnya aneh. "Apaan dah lu? Emang lu siapa ngatur-ngatur hidup gua?" Aku berjalan menjauh, keluar dari perpustakaan.
Aku tahu mengikutiku keluar dari sana, namun sosoknya hilang saat kami melewati kantin. Sampai akhirnya, saat aku memasuki lorong kelas, ia memanggil namaku.
"Atharis Ghani!"
Aku menoleh, mendapati Aji dengan tangan penuh dengan aneka makanan ringan. Dari mulai yang rasa ayam panggang sampai keju.
"Nih. Anggap aja permintaan maaf dari gue soal kejadian di kantin dan perpus tadi," katanya sambil cengar-cengir.
Aji menyerahkan semua makanan itu padaku, lalu berjalan masuk ke kelasnya. Meninggalkanku tercengang sendirian di lorong sekolah.
KAMU SEDANG MEMBACA
September
Teen FictionAtharis Ghani harusnya tidak bermain-main dengan perasaan dua orang sekaligus. Tapi karena satu hari di bulan September, Zaidan Ditya, dan Bramaji Husen, hal itu terasa mustahil. Copyright © 2015 by setyaul