Aji
Kalau bukan karena Pras, temen gue, yang minta tolong diambilin ranselnya di mobil gue, mungkin gue ngga bakal tau kalau Atha bohong soal beli minum itu.
Kalau tentang dia dan Zaid, sejujurnya gue udah tau.
Sejak lama.
Mungkin Atha ngga sadar, tapi gue tetep nyusulin dia ke Kokas, waktu dia beli kado buat abangnya. Gue cari dia dan menemukannya di Sogo, sedang tertawa bersama Zaid. Mungkin Atha ngga sadar, tapi gue tetep tinggal di rumahnya waktu itu. Gue curiga dengan sepasang sepatu yang tergeletak di teras rumahnya. Beberapa saat setelah itu, sosok Zaid yang keluar lalu memakainya dan pergi.
Gue sebetulnya udah tau semua. Gue hanya ingin memperjuangkan Atha.
Ngga banyak yang tau gue sama Zaid adalah teman yang begitu dekat waktu SD. Namun, seiring berjalannya waktu, ditambah kejadian-kejadian yang kami alami membuat kami akhirnya jarang main bareng lagi dan menjauh gitu aja.
Semua orang pikir Zaid adalah sosok yang sempurna. Pintar, baik, supel, alim, dan tetek-bengek lain yang menurut gue hanya dilebih-lebihkan.
Gue inget waktu itu. Kami duduk sebangku saat kelas 4 SD. Zaid sama sekali tidak tau cara mencari luas trapesium. Gue yang mengajarinya hingga ia mendapat nilai tertinggi kedua di kelas, setelah gue tentunya.
Gue inget waktu itu. Pelajaran olahraga, materi dribble bola basket sambil jalan dari ujung ke ujung lapangan aja dia ngga bisa. Akhirnya gue minta waktu sama Pak Tanjung, guru olahraga gue saat itu, untuk mengajari Zaid sebelum ambil nilai berlangsung.
Gue inget waktu itu. Zaid yang sejak awal gue mengenalnya gue tau dia adalah anak baik-baik, ngamuk ngga karuan di pemakaman ibunya. Dia meraung-raung dengan napas memburu sambil memeluk nisan ibunya. Tangan kecilnya meremas-remas tanah basah yang telah ditaburi bunga. Gue ada di sampingnya. Memayunginya karena hari itu hujan turut mengantarkan ibunya ke peristirahatan terakhir beliau. Gue terus menenangkannya, mengeluarkan segala jenis motivasi yang gue tau, memastikan dia sadar bahwa gue akan selalu ada untuknya, mencoba membuatnya tidak sedih lagi.
Semuanya berlalu begitu cepat. Untuk gue, mungkin, bukan untuk dia. Teman-teman sekelas gue jadi lebih deket sama Zaid. Mereka bilang Zaid inilah, itulah. Guru-guru juga selalu memperbolehkannya masuk jika ia terlambat, perlakuan yang spesial menurut gue. Orang-orang terlihat begitu menyukainya karena prestasi-prestasinya yang bisa gue bilang, gue punya andil di dalamnya.
Gue merasa ditinggalkan.
Semenjak itu, gue berusaha menghindarinya yang selalu dielu-elukan satu sekolah saat jadi pemimpin upacara, atau saat namanya disebut jadi juara OSN tingkat provinsi. Dia ngga lanjut ke tingkat nasional, ngga lulus. Tapi sampai ke tingkat provinsi pun udah bikin sekolah gue bangga.
Zaid jadi sebangku sama Tasha, cewe yang selama ini selalu dia curhatin ke gue tentang segimana dia ngga punya nyali buat deketin. Sedangkan gue duduk sendirian di belakang, seperti... invisible.
Gue selalu ada di belakang Zaid, menjadi bayang-bayang dirinya. Dia yang selalu punya panggung, dan gue hanya figuran.
Akhirnya gue memutuskan untuk pindah ke Surabaya, tinggal sama Eyang untuk tiga tahun masa SMP, lalu berjanji akan pulang ke Jakarta saat gue lulus. Sejujurnya gue ngga pingin. Gue mau ninggalin semua kenangan buruk gue di Jakarta.
Tapi gue inget kata-kata bokap: laki-laki kalo punya masalah harus dihadapin, bukannya malah kabur.
Setelah acara kelulusan, gue langsung berangkat ke bandara. Gue berpamitan dengan sahabat-sahabat gue di Surabaya. Mereka ikut mengantarkan gue ke Juanda. Gue inget Wawan dengan tampang polosnya, Reza yang sering gue mintain duit, dan Faris yang paling bandel di antara kami. Aneh memang persahabatan kami, tapi gue sayang banget sama mereka. Eyang juga mengantarkan gue ke bandara. Beliau memeluk gue erat sekali, seperti anaknya sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
September
Teen FictionAtharis Ghani harusnya tidak bermain-main dengan perasaan dua orang sekaligus. Tapi karena satu hari di bulan September, Zaidan Ditya, dan Bramaji Husen, hal itu terasa mustahil. Copyright © 2015 by setyaul