14 Oktober 2014
Sejak hujan hari itu, aku dan Aji jadi lebih sering bertemu. Entah disengaja atau tidak.
Perpustakaan kini terasa lebih menyenangkan. Aji akan menungguku di meja dekat rak novel remaja. Kami akan diam-diam menyelipkan sebungkus makanan ringan di kantung hoodie kami, lalu memakannya santai tanpa harus takut dimarahi penjaga perpustakaan. Kalau kami keasyikan mendengarkan lagu melalui earphone, kami tidak akan mendengar bel masuk berbunyi dan akan tetap di sana sampai pulang sekolah.
Di sana, meski duduk berhadapan, kami tidak pernah bertukar kata.
Dan sesederhana itu, aku merasa bahagia.
--
"Atha!" Ada suara serak yang memanggil namaku. Kontan aku menoleh.
"Kenapa?"
"Mau ngasih ini. Ceritanya udah jadi," katanya sambil memberiku sebuah notebook kecil.
"Lo lagi sakit ya, Id?"
Ia menggeleng. "Kebanyakan makan gorengan kali."
"Yeu yang bener aja sob."
Hening.
"Yaudah gue cabut duluan ya. Ada janji nih." Aku meraih retsleting tasku, memasukkan notebook itu ke dalamnya.
Zaid terlihat begitu kaku, seperti Tobias Eaton saat pertama kali masuk Dauntless. Ia mematung di hadapanku.
"Lo kenapa sih, Id?"
"Tha.."
"Apa?"
"Gue boleh minta notebook-nya lagi sebentar ngga?"
Aku mengangkat kedua bahuku, lalu kembali mengambil notebook itu dari tasku. Zaid meraihnya buru-buru. Dalam hitungan detik, dirobeknya lembar terakhir notebook tadi, dikantunginya lembar itu.
"Udah ya, Tha. Gue juga mau balik. Good luck bikin lagunya!" Ia bergegas pergi.
Aku tercengang sendirian.
--
"Atha!" Ada suara lantang memanggil namaku. Ampun deh, pada hobi banget sih manggil-manggil dari tadi.
"Kenapa?"
"Bareng yuk," katanya sambil berusaha menyejajarkan langkahnya dengan langkahku.
Aku menggeleng sungkan. "Ngga usah, Ji. Gue mau beli martabak dulu. Nyokap gue nitip."
"Yaudah gue anterin."
"Belinya di Bandung, Ji, jauh."
Ia terkekeh. "Apaan sih lo garing banget!" Aji memamerkan deretan giginya yang rapi. "Tapi kalo beneran di Bandung sih gue ayo aja."
"Udaaah ga usah ah. Sana pulang."
"Ngga mau."
"Yaudah nongkrong aja sana sama temen-temen lo. Bhay." Aku beranjak seraya memasang earphone agar suara Aji yang terus memanggil namaku bisa diredam oleh suara merdu Dan Reynolds.
--
Semakin aku mencoba untuk membaca gugusan kata yang ditulis Zaid di notebook ini, aku semakin penasaran dengan apa yang barusan dirobeknya. Kertas bertuliskan apa? Ada rahasia yang tidak boleh kuketahui?
Aku menutup notebook itu, lalu berbaring di atas ranjang, menatap lurus-lurus ke atas. Adegan-adegan pertemuanku dengan Zaid lalu-lalang seenaknya. Pun adegan Zaid bergandengan tangan dengan Kyana.
Lamunanku dibuyarkan intro lagu Photograph-nya Ed Sheeran. Butuh beberapa detik untukku sadar bahwa ada panggilan masuk ke handphone-ku. Ya ampun, Atha, nada dering sendiri aja lupa.. Batinku dalam hati.
Zaid?
"Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam, Atha."
"Iya, Id. Ada apa?"
"Kejadian tadi di lorong ngga usah dipikirin ya. Fokus aja ngerjain lagunya."
Hah?
"Gue percaya sama lo, Tha."
Dan telepon itu dimatikan begitu saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
September
Teen FictionAtharis Ghani harusnya tidak bermain-main dengan perasaan dua orang sekaligus. Tapi karena satu hari di bulan September, Zaidan Ditya, dan Bramaji Husen, hal itu terasa mustahil. Copyright © 2015 by setyaul