19 Januari 2015
"Atha, nengok sini bentar dong!" seru Aji dari belakang. Aku yang sedang sibuk memakan es krim di tanganku sebelum meleleh lebih banyak lagi tidak ingin menurutinya.
"Apaansi?!" ujarku setengah marah.
"Siniii nengok bentar," paksanya sekali lagi.
Aku memutar badan. "Ap--?" Bunyi jepretan foto membuatku seketika jadi bungkam. "Sumpah dah kamu buang-buang instax."
Selembar kertas foto keluar dari sisi atas kamera polaroid cokelat miliknya. Tangan Aji langsung sigap meraih benda tipis putih itu. Dikibas-kibaskannya lima kali lalu mulai terlihat raut wajahku yang konyol.
"Jelek banget," katanya sambil melirik foto itu, lalu wajahku.
"Makanya kalo mau foto bilang-bilang biar cakep. Kan aku bisa gaya dulu."
Tangannya dengan luwes merangkul bahuku. Bibirnya menempel sedetik di sisi kanan rambutku. "Gini aja udah cantik."
"Waktunya sisa sepuluh menit lagi ya." Sebuah suara serak yang belakangan kusadari adalah milik Pak Imran, pengawas Try Out-ku hari ini, menakuti kenangan yang tadi mampir sehingga ia buru-buru pergi.
ANJRIT MAMPUS GUE, batinku sambil refleks menepuk jidat. Lembar jawabanku baru terisi sampai nomor 25. Berarti ada 15 nomor lagi yang belum kukerjakan.
Sisa sepuluh menit untuk 15 nomor soal Bahasa Indonesia? Bercanda.
Aku menatap satu persatu nomor dengan nanar, berusaha mencari satu jawaban 'bercahaya' di sana.
Cara terbaik saat kepepet di ujian.
--
Sambil berjalan menyusuri koridor, pikiranku melayang ke mana-mana. Tiga tahun terindahku akan segera berakhir rupanya. Begitu cepat hingga aku sama sekali tak sadar. Kupelankan langkah, kuperhatikan satu per satu keramik yang kutapaki. Sesekali aku menoleh ke kanan dan kiri. Bangku panjang yang kududuki bersama Zaid, cahaya matahari yang menyelinap masuk lalu menyinari tubuh Aji dan segala jenis makanan ringan di tangannya, Zaid dan Kyana serta kotak makan berisi roti.
Memori, entah itu menyenangkan atau menyedihkan, pasti selalu berhasil bikin rindu.
Setelah lulus dari sini, mungkin aku akan pergi ke luar kota, kabur jauh-jauh. Yogyakarta adalah salah satu pilihanku selain Bandung dan Malang. Di samping rindu akan atmosfernya, aku pun mulai rindu akan abangku yang menyebalkan itu. Mungkin aku akan tinggal bersamanya, atau mungkin aku akan menyewa indekos sendiri dan hanya bertemu dengannya di Kampus.
Mungkin.
Mungkin juga aku memilih untuk tetap tinggal di Jakarta, memilih PTN terdekat dari sini. Mungkin, kalau aku masih cukup kuat untuk kembali sekampus dengan Aji.
Tentang Try Out yang tadi, ah entahlah. Aku sudah pasrah. Selain karena Pak Imran yang bikin grogi setengah mati, the thought of Aji always haunts me. Everywhere, everytime. Ngga peduli aku sedang apa, di mana, dan kapan.
Semacam perasaan bersalah.
And it's killing me softly.
--
Sepasang kaki mungil tiba-tiba saja berdiri di sampingku. Aku mendongak, mencaritahu kaki ini milik siapa.
"Halo," sapa Kyana dengan senyum ramahnya.
Aku hanya tersenyum lalu mengangguk samar. Lagi, aku menunduk. Memerhatikan tali sepatuku yang kumal tidak terikat dengan baik.
"Abis ini ada acara apa, Tha?" tanyanya sopan.
KAMU SEDANG MEMBACA
September
Teen FictionAtharis Ghani harusnya tidak bermain-main dengan perasaan dua orang sekaligus. Tapi karena satu hari di bulan September, Zaidan Ditya, dan Bramaji Husen, hal itu terasa mustahil. Copyright © 2015 by setyaul