Hujan Hari Itu

1.1K 58 1
                                    

23 September 2014

Proyek konyol itu kini sudah setengah jalan. Zaid terus meminta pendapatku tentang cerita yang sudah masuk bagian klimaks. Aku hanya mengiyakan apapun yang ia tulis. Urusannya, bukan urusanku. Aku tinggal mengubahnya menjadi 5 bait lirik lagu.

Selain berbincang tentang proyek kami, aku dan Zaid tidak pernah lagi bertukar kata. Saling sapa saja tidak pernah. Kami seperti dua orang yang tidak saling kenal. Ya setidaknya aku punya alasan untuk itu. Aku tahu diri untuk tidak mengganggu hubungannya dengan Kyana.

Hampir seluruh murid di sekolah menjadikan Zaid dan Kyana sebagai bahan gosip di tengah makan siang mereka. Ada yang bilang mereka sudah resmi pacaran, ada juga yang bilang bahwa Zaid masih 'menggantung' Kyana. Apa, tuh, bahasanya? PHP?

Aku sendiri kenal Kyana sejak awal memasuki sekolah. Teman MOS, waktu itu. Ayahnya keturunan Jepang dan ibunya asli Solo. Cantik sekali. Pipinya berwarna merah muda, bibirnya tipis, rambutnya yang hitam sering kali tergerai. Jika disandingkan dengan Zaid, tentu mereka akan jadi pasangan yang sempurna. Ah, sudahlah. Aku tidak ada urusan dengan mereka. I don't have much time to care about other people's lives.

--

Aku tak henti-hentinya melirik ke arah jam dinding. Mungkin ia juga bosan kulirik melulu. Hujan yang turun sejak tadi membuat suasana kelas semakin memadai untuk tidur. Kalau tidak kutahan-tahan pun, pasti sekarang aku sudah terlelap. Tahan, Tha... Tahan...

KRING

YES!

Aku segera merapikan barang-barangku yang tergeletak di atas meja, tidak memedulikan Bu Jeni yang masih sibuk menuliskan soal-soal tugas di papan tulis. Mendengar suara gaduh di balik punggungnya, beliau akhirnya meletakkan spidolnya dan berbalik. Menyerah.

"Oke, oke. Kalian boleh pulang. Nanti tugasnya saya e-mail aja," katanya sambil sedikit mendengus kesal. Anak-anak kelasku bersorak, lalu berbondong-bondong meninggalkan kelas. "Jangan hujan-hujanan ya, anak-anak!"

Yah, maaf, Bu. Saya kadung hujan-hujanan.

Jas hujan, payung, atau apa pun yang berguna untuk melindungi badan dari hujan tidak pernah ada dalam kamusku. Aku bahkan tidak punya satu. Pernah, jas hujan kuning bergambar Princess Belle yang kubeli saat kelas 5 SD. Sekarang jelas sudah tidak muat lagi di tubuhku.

"Atha!" Ada teriakan asing yang memanggil namaku dari belakang.

Aku menoleh, menemukan sebuah sedan hitam sedang berhenti tepat di belakangku. Mataku memicing. Siapa?

Sang pengemudi memajukan posisi mobilnya agar sejajar denganku. "Woi, ngapain basah-basahan gitu? Masuk sini!"

"Lah elo, Ji. Gue pikir siapa."

"Masuk, Tha!" ajaknya sekali lagi.

"Ngga usah. Gue mau ke depan doang. Cari bis."

"Mau ke mana?"

"Mau ke Bali."

"Hah?!" Aji memastikan telinganya tidak salah dengar.

Aku terkekeh. "Ya enggalah! Gue mau balik."

"Yaudah ayo bareng aja."

"Ngga usah, ah," kataku sambil melanjutkan langkah yang terhenti karenanya.

Aji terlihat gemas. Dia keluar dari mobilnya, menarikku masuk ke sana. Cepat sekali. Tidak sampai sepuluh detik.

Di sinilah aku, terduduk di sampingnya di sedan hitam ini. Tape-nya memutar lagu Prove Me Right dari Memphis May Fire. Mobilnya harum permen kapas. Sangat kontras.

"Whoa! Prove Me Right! Where were you when they had no faith in us? Where were you when they shut us out?~"

"It's funny you show up now~" lanjutnya.

Mobil-mobil di belakang kami mulai memencet klaksonnya masing-masing. Kami tertawa sebentar. Menyadari bahwa Aji harus menjalankan sedan hitam ini sebelum ditabrak dari belakang.

Keluar dari kawasan sekolah, Aji mengendarai mobilnya dengan lebih santai.

"Duh, gue kuyup banget ya? Basah nih jok lo," kataku.

"Iya lo kayak abis kecebur di kolam arus Snowbay," Aji menyunggingkan sebuah senyum. "Gapapa. Nanti juga kering."

"Btw, rumah gue rada jauh."

"Di mana?"

"Rawamangun."

"Itu mah deket, kali. Kalau rumah lo di Bogor tuh, baru gue turunin di sini. Biarin aja lo naik kereta."

Aku membetulkan posisi dudukku. "Yeu, parah nih. Tega."

"Buru-buru ngga, Tha?"

Aku menggeleng. "Ngga, sih."

"Nah! Makan dulu, yuk. Laper, nih," katanya sambil menepuk-nepuk perutnya.

"Tapi kan basah bajunya.."

"Oh iya ya.." Suara Aji melemah. "AH IYA GUE TAU!"

--

Aji mengetuk kaca mobilnya dengan dua piring sate padang di tangannya. Aku terkekeh, lalu membukakan pintu untuknya. Ia masuk, menyerahkan satu piring untukku.

Taman Suropati belum begitu ramai didatangi orang. Masih pukul 4. Apalagi ini hari Selasa. Aji memarkir mobilnya tidak begitu jauh dari para penjaja makanan. Sengaja ia meninggalkanku di dalam sini tadi, agar ia saja yang memesan makanan. Lalu kami memakan dua porsi sate padang itu di mobilnya yang jika kutaksir, paling harganya cukup untukku membeli belasan gitar Taylor 214CE.

"Selamat makan, Tha." Ia menyeringai tepat sebelum melahap setusuk sate miliknya.

"Selamat makan, Aji."

SeptemberTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang