Himalaya

836 45 5
                                    

17 Desember 2014

"Aku ganti ya," kata Aji ketika intro lagu Ombak Utara milik Maliq & d'Essentials mulai terdengar.

Aku mengangguk, meski itu lagu kesukaanku.

"Oiya, Tha. Aku ngga bisa anter kamu pulang nanti. Nggapapa?"

Lagi, aku mengangguk. "Bentar, ya. Haus." Tanganku melepaskan sebelah earphone yang disangkutkan ke telingaku, beranjak untuk memesan minum.

Di hadapan etalase berisikan bermacam buah ini, aku menunggu pesanan jus alpukatku. Cahaya mentari yang tadi sedikit-sedikit menembus kanopi kantin, kini lenyap terhalang seseorang.

Jika kau menebak itu Zaid, HUWALAAA iya betul.

"Sendirian banget?" katanya yang aku yakin ditujukan untukku walau matanya tertumbuk pada si ibu kantin. "Alpukat ya, bu. Susunya yang banyak."

"Yah, alpukatnya habis, Mas. Yang terakhir dipesen sama mbaknya." Si ibu menunjukku dengan sopan.

Dia melirik ke arahku. "Ambil aja, Tha, semuanya. Jus alpukat, hati gue--"

"Bacot dah nanti kedengeran Aji mampus lu." Aku memotong kalimatnya dengan setengah berbisik, waswas omonganku didengar Aji juga.

Ia kembali memalingkan pandangannya pada ibu kantin. "Yaudah. Jus mangga aja, bu, satu. Susunya yang banyak."

Sesaat setelah Zaid memesan jusnya, pesananku telah selesai dibuat. Segera kuletakkan selembar lima ribuan dan empat keping koin lima ratusan, lalu kutinggalkan kedai jus itu tanpa berkata-kata lagi. Kudengar ia sempat memanggil namaku dengan volume suara yang dikecil-kecilkan, namun tak kuhiraukan.

"Itu Zaid manggil, lho, Tha. Kamu kok diem aja?" tanya Aji saat aku kembali duduk di sampingnya.

"Emang iya?" Pinter boong ya lu, Tha, sekarang. Bangga gue.

"Iya." Kedua tangannya ia letakkan di samping bibirnya. "ZAID!" Aji berteriak. Ekspresi wajahnya begitu tenang.

Mati dah gue.

"Tadi mau ngomong sama Atha? Sini!" ajaknya.

Ini apaan sih? Seingatku Aji bahkan pernah memintaku menjaga jarak dengan Zaid bukan?

"Engga, tadi itu gue pikir dia bayarnya kurang." Yang diajak ngobrol jarak jauh ikut-ikutan berteriak sambil menyunggingkan sebuah senyum lebar.

Pinter boong juga ya lu, Id, sekarang.

Aji terbahak. "Emang kamu bayar berapa?"

"Bener kok tujuh ribu. Dia aja ga bisa ngitung." Sungguh aku tiada kuasa menahan nada sinis keluar dari bibirku.

--

Halte yang kurang lebih berjarak dua puluh meter dari sekolah ini tidak begitu ramai rupanya. Hanya ada sekelompok heboh murid yang ternyata anak kelas 10 dan beberapa tukang asongan.

"Minum, neng? Ada akua, mijon, panta...," tawar seorang bapak setengah baya padaku.

"Fanta deh, pak."

Beliau memindahkan cairan soda berwarna merah itu ke bungkus plastik, memasukkan sebuah sedotan ke dalamnya, lalu memberikannya ke padaku. Kemudian aku memberinya selembar sepuluh ribuan. "Ngga usah kembali, pak."

"Makasih ya, neng," katanya sambil tersenyum lebar, membuatku tau ada berapa giginya yang tanggal. "Udah lama ngga ke halte, ya, neng? Bapak udah jarang lihat."

"Iya, nih, pak. Pacar saya ngga bisa anterin pulang."

Si bapak tersenyum lagi. "Oooh si eneng teh enggeus boga kabogoh? Bapak jadi inget mantan kabogoh bapak ti Subang. Banyak neng, ada sapuluh!" Kali ini ia tertawa.

SeptemberTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang