Annual Creativity Week

765 49 11
                                    

21 Desember 2014

Aku tertunduk menatap kakiku yang berguncang, menyiratkan rasa cemas yang sedari tadi menyelimutiku. Di sampingku, Aji duduk dengan tenang sambil terus mengusap rambutku. Berkali-kali ia mencoba menenangkanku, tapi sama sekali tidak kugubris saking cemasnya.

Backstage Annual Creativity Week. Yak, akhirnya hari ini datang juga.

"It's all gonna be alright, Tha," katanya. "Ngga mungkin kan tiba-tiba panggungnya roboh pas kamu tampil?" Kini ia terkekeh kecil. Panggung yang dibangun di lapangan sekolah kami ini memang cukup besar, namun beberapa kali kudapati sang pembawa acara naik-turun panggung dengan wajah sedikit ngeri. Mungkin panggungnya memang seringkih itu.

"APAANSI KAMU MAH NAKUTIN!!" Aku sewot.

"Yaudahlah ya. Kamu kan juga udah biasa kayak gini. Kok sekarang malah takut?"

Tapi kali ini rasanya jauh berbeda...

Zaid. Aku harus menemuinya.

Aku berdeham sekali, lalu menoleh padanya. "Aku cari minum dulu ya sebentar."

"Itu ada," katanya sambil menunjuk boks berisi gelas-gelas air mineral di sampingnya.

Aku menggeleng. "Lagi mau kopi. Aku ke minimarket ya? Giliranku juga masih lama."

"Aku aja yang beliin. Kamu siap-siap di sini."

"Ngga usah, aku beli sendiri aja. Sebentar kok." Aku akhirnya meraih slingbag abu-abu milikku dan beranjak meninggalkannya.

Untuk Zaid.

--

"Misi, Zaidnya ada?" tanyaku dengan setengah badan tertahan di luar ruangan, enggan masuk.

Beberapa orang di ruang panitia meneriakkan nama Zaid. Sang empunya nama menoleh dari pojok ruangan lalu seketika berjalan ke arahku. Ia menarikku ke luar ruangan, tidak ingin percakapan kami didengar teman-teman yang lain.

"Kenapa? Bukannya bentar lagi lo tampil?" katanya setelah kami berada di koridor.

Aku mengangguk. "Gue takut."

"Apaan sih yang harus ditakutin? Cemen lu," katanya dengan wajah yang diserius-seriuskan.

"Kalo jelek kan yang malu lo juga??? Plis deh."

Zaid tersenyum lembut. Tangannya membentang dan kini kudapati diriku dalam dekapannya. Tidak ada pilihan lain yang kupunya selain balik memeluknya. Ia mengunci lengannya kuat-kuat, mengeratkan pelukan kami.

"Tenang aja. Nanti gue nonton paling depan." Ia berbisik tepat di telingaku, lalu diikuti tawa renyahnya yang jadi suara favoritku belakangan ini.

Pelukan kami belum juga mengendur. Namun tiga detik kemudian, kami sama-sama melepaskan pelukan kami dengan kaku setelah mendengar sebuah suara memanggil namaku.

"Atha?" Nada itu lebih terdengar seperti sebuah tanya. Seperti ingin memastikan apa pun yang terjadi di depan matanya saat ini tidak akan menyakiti hatinya.

Ia berjalan menuju aku dan Zaid yang masih sama-sama diam. Langkahnya tenang, sama sekali tidak terburu. Seperti telah dipersiapkan begitu lama untuk saat-saat seperti ini.

"Udah ke minimarketnya, Tha?" Ia bertanya dengan santai.

Aku masih terus bungkam.

"Belum ya?" Aji menatap tanganku yang kosong, tanda-tanda belum membeli apapun. "Kalo belum aku aja deh yang beliin." Ia nyaris melangkahkan kakinya menjauh dari kami. Dan aku takkan membiarkannya mengenangku sebagai orang yang telah mematahkan sayapnya.

"Aji."

Ia menoleh padaku, tersenyum.

"Maaf."

"Aku selalu maafin kamu." Matanya beralih pada laki-laki di sampingku. "...dan Zaid."

Kami bertiga dilingkupi hening yang dingin.

"Bukan salah Atha," kata Zaid tiba-tiba. "Gue yang berusaha masuk ke hidupnya. Gue yang salah."

Di hadapanku, kedua laki-laki ini bertatapan lama. Aji dengan aura tenangnya dan Zaid yang aku yakin butuh kekuatan ekstra agar suaranya tidak bergetar.

"Lo sayang sama cewe gue, Id?"

Zaid menggigit bibir bawahnya. Ciri khasnya ketika dilanda gelisah.

"Jawab. Gue yakin lo ngga mau ngelewatin Atha gitu aja dan ngerelain dia bareng-bareng sama gue. Lo bakal selamanya benci sama gue kalo gitu caranya, Id. Be a gentleman." Aji menambahkan sedikit nada sinis dalam kalimatnya, membuatku makin tertekan juga.

Zaid menarik napas. "Oke, fine, gue ngaku. Gue jatuh cinta sama cewe yang kalo ke mana-mana ngga pernah nyisir rambutnya, yang bibirnya ngga pernah glossy kecuali kalo abis makan gorengannya Mang Daim. Gue jatuh cinta sama cewe yang gue yakin banget cuma rapi pas ngebuletin LJK. Gue jatuh cinta sama cewe lo, Ji." Suaranya tegas.

Kini ia berpaling padaku. "Gue jatuh cinta sama lo. Buat gue, lo itu a beautiful mess."

Lagi, ia mengutarakan isi hatinya yang sebetulnya sudah kuketahui. Tanpa sadar, setetes air meluncur dari mataku.

"Jangan nangis," kata Aji dengan mata yang entah sedang mengarah ke mana, yang pasti bukan padaku.

Aku menyeka air mataku. "Ji, kamu..."

"Aku bakal lebih bahagia kalo kamu sama dia." Ia memotong kalimatku, masih dengan suaranya yang tenang. "Aku ngga bisa nahan kamu, Tha."

"Stop acting like you're okay, Ji. It's hurting me even more," kataku tajam.

Aji tertawa hambar. "Terus kamu mau apa? Mau aku ngamuk terus ngacak-ngacak panggung? Bikin kamu ngga jadi tampil? Kamu maunya gimana? Kamu mau aku pulang sekarang? Nangis di mobil sambil dengerin Nothing-nya The Script? Pilih, Tha."

"Aku mau kamu tetep jadi Aji."

Kali ini dia diam.

"Tadi kenapa harus bohong mau beli minum?"

"Aku..."

"Padahal kalo kamu mau ketemu Zaid juga aku bolehin."

"Boleh ngga aku selesaiin kalimatku dulu baru kamu ngomong?" Aku menatapnya nanar. "Aku coba buat jaga perasaan kamu, Ji. But it doesn't work out in the end, does it?"

Aji tersenyum. Lama, sebuah kalimat yang sedikit mengejutkanku bisa keluar dari bibirnya pun terdengar. "Kita putus aja ya, Tha?"

Aku mengangguk sambil berharap ini benar dan ini keputusan paling baik.

"Aku bakal tetep nonton kamu kok nanti." Ia mengecup keningku lama sekali, entah seberapa banyak hal yang lalu-lalang di pikirannya saat ini. Seberapa banyak perasaan yang berkecamuk di dadanya saat ini.

Aji menepuk bahu Zaid dua kali, lalu pergi menjauh meninggalkan kami. Hanya punggungnya yang bisa kulihat dari tempatku berdiri. Ia tak pernah menengok lagi ke belakang.

"So, now what?" Zaid melirikku.

"We suck."

"We do," katanya. "Sana balik ke backstage. Yang bagus ya nanti." Zaid kembali masuk ke ruang panitia, meninggalkanku sendirian di koridor.

Tidak ada yang tau aku terdiam di sana lima menit setelah itu, menangis sepuas-puasnya.

--

"Atha, giliran lo," kata Winda dengan HT di tangan.

Aku meraih gitar dan naik ke atas panggung. Jantungku rasanya ingin loncat keluar saking gugupnya.

"Halo," kataku menyapa penonton yang didominasi anak kelas 12. "Hari ini gue bakal bawain lagu yang gue adaptasi dari cerita sci-fi bikinan Zaidan Ditya. Semoga berkenan, teman-teman." Aku menyunggingkan senyum, lalu mulai memetik senar gitarku.

Zaid memenuhi janjinya, ia ada di barisan paling depan.

Pun Aji, meski jauh terhalang lautan manusia, ia menghadiahiku sebuah senyum hangat.

SeptemberTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang