Kayu Mahogani

921 55 2
                                    

27 Oktober 2014

Selain karena ulangan matematika yang sudah direncanakan jauh-jauh hari oleh Pak Darma, tidak ada lagi alasanku untuk tetap masuk sekolah hari ini. Dengan langkah berat, aku mulai memasuki kelas yang hampir belum berpenghuni. Aku melempar ranselku ke meja paling belakang. Untungnya tepat sasaran, karena kalau tidak, aku tak ingin lagi memberesi isinya yang jatuh berserakan.

Dari dalam kelas, kulihat Kyana berjalan menuju ke kelas seberang, kelas Zaid. Di tangannya terdapat sebuah kotak makanan berwarna biru. Entah apa isinya. Paling juga sepotong roti.

Ya elah roti doang.

Lah? Lo kenapa sih, Tha?

Maksud gue, apaan coba? Biasanya juga ga pernah ngasih sarapan kan?

Terus urusannya sama lo apaan, Tha?

Ngga ada, sih... Tapi kan ngeliatnya risih tau.

Lo iri ya?

.........

Atha??!! Woi! Lo iri ya?!

....................

"Woi!" Guncangan kecil di bahuku membuyarkan sesi tanya-jawab ga penting yang tiba-tiba terbersit di otakku. Sabila, teman sebangkuku, baru datang. Rusuhnya minta ampun.

Aku menoleh dengan malas. "Apaan?"

"Lah lo kenapa? Masih pagi juga. Biasanya heboh."

Aku hanya menggeleng tak acuh. "Ada apa?"

Sabila merogoh saku roknya, mengeluarkan sebuah capo. "Tadi si Zaid nitip ini ke gue. Lo tau kan? Si itu Zaid yang sempurna banget yang pinter yang jago main bola yang..."

Tanganku refleks menggapai benda itu dari tangan Sabila. Ocehannya tentang seberapa sempurnanya Zaid tak lagi masuk ke telingaku.

Dia sudah begitu sempurna, tak perlu lagi dijelaskan dengan kata-kata yang hiperbola.

Di balik bungkus capo itu, kudapati secarik kertas post-it berukuran mini.

Atha, ini ada capo. Semoga bisa bantu buat bikin lagunya. Semangat ya, Tha. :)
-Zaid

Dan sesaat setelah aku membacanya, dari balik tirai jendela, retinaku menangkap bayangnya bersama Kyana.

Mereka sedang tertawa.

--

Banda Neira, Haruki Murakami, perpustakaan, Aji. Komposisi yang tak pernah membuatku jenuh sama sekali. Semacam rutinitas yang mengasyikkan di tengah segala hal yang memuakkan.

Semacam penetral.

Tiba-tiba kakinya menyenggol kakiku dengan sengaja dari bawah meja. Aku segera menatapnya dengan nanar.

"Kantin yuk. Laper," katanya sambil mengusap perutnya.

"Lo aja ah. Mager. Lagi asik nih."

Dia merengut. "Ah, Atha. Ayolaaah. Gue maunya sama lo."

Aku menutup Norwegian Woods yang sudah setengah jalan kubaca, lalu menatapnya lagi. "Emang apa bedanya dengan atau tanpa gue?"

Yang ditanya malah menunduk. Lima detik, kemudian ia menatap mataku lagi. "Lo mau jawaban jujur atau bohong?"

"Ya menurut lo?"

"Jawaban bohong: ngga. Ngga ada bedanya. Gue bakal tetep makan dengan lahap walaupun lo ngga nemenin gue."

"Terus?"

"Jawaban jujur: gue butuh lo."

Kami bertatapan, lama.

"Ah yaudahlah," katanya lirih, meninggalkan bangku dihadapanku, lalu punggungnya hilang di balik pintu perpustakaan.

--

Aku bersandar tepat di samping pintu XII IPA 2, menunggu satu persatu muridnya keluar kelas. Seperti yang sudah kuduga, ia keluar paling akhir.

"Aji."

Aji yang sedang merapikan buku-bukunya hanya mendongak ke arahku, lalu kembali melanjutkan aktivitasnya.

"Lo marah sama gue?"

Ia menggeleng pelan. "Engga, Tha. Gue ngga marah sama lo."

"Ya terus?"

Aji berjalan tepat di depanku, melewatiku begitu saja, keluar dari kelas. "Gue marah sama diri gue sendiri." Kudengar langkahnya mulai menjauh.

LAH?! GUE KOK DITINGGAL?!... Batinku.

Sekali lagi, kudengar derap langkah kaki. Tapi kali ini, suaranya seperti mendekat ke arahku.

Aji.

Tangannya merengkuhku erat. Kudapati tubuhku dalam pelukannya. Nalarku, untuk beberapa saat, kehilangan kemampuannya berfungsi.

"Maaf ya, Tha. Maaf gue bikin lo kaget."

"Gue maafin."

Harum kayu mahogani.

SeptemberTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang