Malam Minggu

882 50 2
                                    

8 November 2014

Malam Minggu. Yep, malam yang biasa kuhabiskan dengan berleyeh-leyeh di kasur kini kuhabiskan dengan cowok yang tak pernah kusangka akan kukenal sedekat ini: Aji. Bukan, bukan. Bukan fine dining apalagi makan di restoran ayam cepat saji.

Di teras rumahku.

Ia tiba-tiba datang dengan seboks pizza dan dua loyang martabak cokelat keju. Tanpa aba-aba, tanpa peringatan sebelumnya jika ia akan membawa makanan sebanyak ini. Ngga banyak, kok, Tha. Nanti juga abis, katanya santai.

"Ada apaan sih? Tumbenan."

Aji malah menyeringai lebar, sama sekali tidak menjawab pertanyaanku.

"Kesambet lo ya dari tadi senyam-senyum-senyam-senyum?!"

"Pinjem gitar, dong, Tha." Raut wajahnya berubah serius kali ini.

"Mager ah. Ada di dalem."

"Ambil."

Aku menghela napas, menyerah. "Ih. Baru kali ini ada tamu sengelunjak lo."

Tidak sampai lima menit, aku sudah kembali ke teras, membawa gitar yamaha apx500ii hitam milikku yang sudah penuh stiker di sana-sini.

"Nih," kataku sambil menyerahkan gitar itu pada Aji dengan sebelah tangan.

"Dankeschön."

Senar gitar itu mulai digetarkan Aji. Lembut. Aku pun sadar lagu apa yang tengah ia mainkan -Never Seen Anything Quite Like You!

Hampir saja aku terlonjak saking girangnya mendengar lagu favoritku itu. Tapi aku berusaha mengatur emosiku agar tidak menginterupsi aksinya.

I think I want you more than want
And know I need you more than need

Bagus juga suaranya, batinku dalam hati.

No, I've never seen anything quite like you tonight

Bait terakhir, namun ia tidak berhenti.

Sebuah lagu lagi.

Tenerife Sea.

Aku terus memerhatikannya tanpa tau apa yang sebenarnya ia lakukan sekarang. Dan saat ia telah menyelesaikan lagu keduanya itu, ia menatapku, lama dan dalam.

Anjrit apaandah maksudnya? batinku lagi dan lagi.

"Atha, gue tau kita baru kenal."

Anjrit.

"Tapi, Tha. Lo dengan seenaknya masuk ke hidup gue. Lo dengan seenaknya bikin gue jadi ketergantungan sama lo. Tanpa lo, gue tuh...," Aji berhenti sebentar, terlihat ragu untuk melanjutkan kalimatnya. "Gue tuh berantakan."

Anjrit.

"Jujur, gue ngga tau apa yang bikin gue jatuh ke elo sampe segininya, mungkin karena lo bersikap apa adanya di depan gue, ngga kayak cewe-cewe lain. Tapi ah bodolah gue ga peduli! Gue sayang sama lo, Atharis Ghani."

Anjrit.

"Gue ngga bisa janjiin lo sesuatu tentang masa depan, karena itu ada di luar kuasa gue. Gue cuma bisa janji kalo dengan apa pun masalah yang hidup tawarkan ke kita, gue bakal berusaha bikin lo selalu bahagia. Dan somehow, ngeliat lo bahagia bikin gue bahagia juga."

Anjrit.

"Basi, ya, kayak gini? Harusnya cewe spesial kayak lo dapet perlakuan yang lebih dari ini. But you know, Tha, I suck. I'm no good."

Anjrit.

"Gue bahkan kadang suka mikir, mimpi banget bisa bareng-bareng sama lo. Kadang gue ngerasa ga pantes."

Anjrit.

"Tapi gue ga mau jadi pengecut yang egois, Tha -yang bisanya mendem perasaannya sendirian dan berlindung dibalik predikat 'teman baik'."

Anjrit.

"Atha, boleh gue jadi cowo lo?"

Dan dengan sekali anggukan mantap dariku, Aji mengutas sebuah senyum.

Yak. Anjrit.

SeptemberTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang