12 Desember 2014
Setelah itu, baik aku maupun Zaid sama-sama menjaga jarak.
Zaid yang sekarang adalah orang yang tidak pernah lagi kuhubungi, meski aku bingung bukan main dengan cerita yang ia tulis. Zaid yang sekarang adalah orang yang tidak pernah lagi terdengar kabarnya selain rumor nilai-nilainya yang anjlok.
Dia begitu berbeda.
Ada saat-saat di mana aku ingin sekali menyapanya, sekadar untuk mencairkan suasana mengingat Annual Creativity Week akan berlangsung kurang dari dua minggu lagi. Tapi senyuman demi senyuman yang ia lemparkan ke Kyana sesaat setelah bel pulang sekolah di depan gerbang selalu berhasil membuatku mengurungkan niat itu.
Hal itupun kini jadi biasa.
Belakangan ini sering kudapati tangan Zaid dengan santai melingkar di pinggang Kyana saat mereka berjalan beriringan menuju kantin, tidak memedulikan para guru yang berulang kali menasihati. Tidak jarang pula, melalui jendela kelas yang tidak bertirai, aku melihat Zaid mencuri satu-dua kecupan di pipi mulus Kyana.
Dia benar-benar berbeda.
Mungkin kini baginya aku hanyalah seorang siswi biasa, yang ia tidak punya urusan dengannya.
Kehidupan kami kembali seperi dulu lagi: tidak saling kenal.
Namun bedanya sekarang ada sebuah ruang kecil di hatiku yang sengaja kukosongkan untuknya.
--
"Oi, kamu bengong lagi." Tangan Aji berputar-putar tepat di depan wajahku dengan sepotong kentang goreng.
Aku tergelak. "Apaan sih." Aku meraih kentang goreng itu dan melahapnya segera. "Bengong dikit mah ngga papa tau."
"Lagi mikirin apa sih?"
"Engga ada. Aku kan emang suka gitu, tiba-tiba bengong sendiri."
Aji mengangguk lambat. "Iya deh. Aku khawatirnya kamu overthinking."
Iya, Ji. Emang iya.
"Seru deh, Tha, jalan jauh pake kereta. Kalo udah masuk pedalaman gitu banyak sawah. Seger banget aku liatnya." Aji menerawang, membayangkan lagi sisa perjalanan kemarin.
"Aku juga pingin kayak gitu tuh. Asik kali ya, Ji. Sambil dengerin Payung Teduh... Adem banget," kataku sambil membayangkannya juga. "Parah pingin banget aku."
"Kamu ngga ada niatan kabur kan, Tha...?" Ia bertanya dengan lirih.
Seems like a nice idea.
--
Aku kaget setengah mati mendapati sosok Zaid tengah duduk di ruang keluargaku saat aku memasuki rumah.
Damn. Dia mau apa?
"Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam. Atha, ituu ada temennyaaa ya siapa tadi namanya? Zayn?" Suara melengking mama terdengar begitu heboh dari lantai atas.
"Zaid, mama.. Iya udah liat orangnya kok," kataku lalu memalingkan pandangan ke Zaid. Yang kupandangi malah memasang tampang datar. "Ada apa?"
"Gue mau ngomong."
Aku berjalan mendekati kulkas, ingin mengambil minum sekaligus menghindarinya. "Ya ngomong gih kan lu punya mulut," kataku, kemudian meringis sendiri mendengar kalimat yang serta-merta keluar dari mulutku.
Zaid berjalan ke arahku dengan tenang, namun air mukanya kini sulit sekali untuk dibaca.
Ia mencengkram tanganku. "Coba jujur sama gue, apa perasaan lo tiap liat gue sama Kyana berduaan?"
Aku menatap matanya dengan tajam. "Kasian."
"Sorry?"
"Karena lo terlihat begitu pathetic, Zaid."
Cengkramannya melonggar, menyisakan guratan merah di pergelangan tanganku.
"Terus?"
Aku menelan ludah. "Yaudah."
"Kamu bohong, Atha."
Kamu.
"Bohong apa?"
"You're jealous. Admit it."
Aku menggeleng keras. "Mending sekarang lo pamit sama nyokap gue, terus lo pulang,"
"Tha, kamu cemburu."
"You wish, Zaid." Aku tertawa sinis. "Kalo gitu, giliran gue yang ngomong ya."
Zaid menatapku hangat. Dan aku semacam meleleh.
"Gue pesen sama lo, jangan sakitin Kyana. Gue ngga tau maksud lo selama ini dengan PDA --public display of affection-- ga penting lo itu, tapi gue ngerasa kayak... lo manfaatin dia. Dan berubahlah lagi jadi Zaid yang dulu. Kayaknya orang-orang banyak yang kangen tuh." Aku menghadiahinya sebuah senyum. "Pulang ya, Id?"
Ia mengangguk, entah mengiyakan kata-kataku yang mana. "Boleh peluk?"
"Kenapa? Ketagihan dipeluk waktu itu?" Aku terkekeh, setengah meledek. "Jangan ya, Id."
"Kenapa? Takut nanti jadi jatuh sayang sama gue?" Dia terkekeh, membalasku.
"Iya."
Zaid mengecup keningku, entah berapa lama namun begitu singkat sehingga aku nyaris tidak merasakan apapun.
"Sana pamit sama nyokap."
"Siap, Bu Bos."
--
Zaidan Ditya: Jangan lupa minum obat, tadi suara lo agak bindeng
Bramaji Husen: Uuuy lagi apa?
Aku melirik layar iPhone-ku yang tergeletak di meja belajar, lalu memencet tombol lock cukup lama --mematikannya.
Aku meraih kotak P3K kecil di kamarku yang di dalamnya terdapat obat flu dua ribuan yang kubeli di warung, lalu menenggaknya dan naik ke tempat tidur.
KAMU SEDANG MEMBACA
September
Teen FictionAtharis Ghani harusnya tidak bermain-main dengan perasaan dua orang sekaligus. Tapi karena satu hari di bulan September, Zaidan Ditya, dan Bramaji Husen, hal itu terasa mustahil. Copyright © 2015 by setyaul