1 Februari 2015
Aji
Ketemu Atha adalah satu hal yang ngga pernah gue harapkan sebelumnya. Gue ngga pernah ngobrol sama dia. Papasan beberapa kali pernah sih. But I never noticed her.
Dan tiba-tiba, di satu hari di mana kantin begitu ramai, sosoknya membuat mata gue terpaku. Dengan kuncir asal-asalan yang hampir melorot dan sepatunya yang berwarna kuning mencolok --pasti belum ketauan guru BK--, dia membuat mata gue dengan sukarela mengikuti setiap jengkal perpindahannya. Gue ga tau kata yang pas buat ngegambarin sosok Atha hari itu.
Kalau dipaksa, mungkin gue akan pake kata stunning.
Ada empat hal yang gue sadari setelah dia duduk di hadapan gue sambil melahap soto ayamnya:
1. Badge namanya salah tempat. Harusnya di kanan, dia di kiri.
2. Bibirnya berubah kemerahan pas dia lagi kepedesan.
3. Bola matanya hitam sempurna. Seperti menyimpan banyak sekali rahasia di dalamnya.
4. Dia... manis. Kalo boleh lebay, pake banget.Semenjak hari itu, gue janji sama diri gue sendiri kalo cewe yang satu itu harus bisa gue dapetin. Banyak cara yang gue jalani, tapi ga semuanya berhasil. Makin ke sini, makin gue kenal sama dia, janji gue itu berubah.
Gue janji bakal bikin dia selalu bahagia.
Kringgg kringgg.
Gue melirik jam beker di meja kecil di samping ranjang gue. Pukul setengah lima pagi. Anjis, gue belum tidur. Lebih parah lagi, gue melewatkan empat setengah jam yang krusial.
Hari ini ulang tahun Atha yang ke-18.
Gue ngga yakin Atha bakal bikin birthday bash atau apa. Palingan juga dia lupa dia ulang tahun hari ini. Biasanya kalo hari Minggu gini, abis sholat subuh dia balik tidur lagi.
Ini hampir azan subuh. Berarti Atha udah bangun.
Tangan gue gemetar meraih ponsel yang sengaja gue matiin dari semalem. Pas dinyalain, ada 20 notif LINE yang ga penting-penting banget. Jadi gue tetap mengetik nama Atha, mencari contact-nya.
Ga ada.
Oiya lupa, kan gue hide.
Yaudahlah.
Bukannya nge-unhide contact-nya Atha, gue malah nge-line florist langganan nyokap dan Bang Junet, tukang kerak telor yang biasa dagang di pasar malem deket rumah.
Setelah semua beres, gue nge-lock handphone dan beranjak ke kamar mandi untuk ambil wudu. Sambil berharap itu saja sudah cukup.
--
"Ajiii!! Lo ngambil bandana gue ya??!!" Suara cempreng milik Kak Tiur menggema dari kamar sebelah. Langkah gusarnya mulai terdengar mengarah ke kamar gue. Dia teriak, hampir membuat seisi rumah menghampiri kami ke kamar.
"LO UDAH GA NORMAL YA JI PAKE BANDANA KAYAK GINI???!!"
Gue mengalihkan pandangan gue dari cermin ke dia sambil melepaskan bandana di kepala gue. "Astaga, Ti. Gue minjem doang bentar."
"Mau jalan sama cowo baru lo? Ga sekalian minjem dress gue?"
"Gigi lo monyong!" Gue menoyor jidatnya lalu duduk di kursi belajar. "Gue lagi cari kado yang bagus buat Atha."
Kak Tiur duduk di ranjang gue, menatap gue lekat-lekat. "Lo kan udah putus, dek."
"Ya gue tau, Ti," kata gue sambil tersenyum masam. "Emang ngasih kado doang ga boleh?"
"Boleh." Kak Tiur menepuk bahu gue dua kali. "Yang ga boleh, lo ngarep dia mau balik sama lo gara-gara itu."
Kak Tiur berjalan ke luar kamar gue. "Mungkin dia bakal suka poster yang baru gue beli kemaren," katanya sebelum benar-benar menghilang dari pandangan gue.
KAMU SEDANG MEMBACA
September
Teen FictionAtharis Ghani harusnya tidak bermain-main dengan perasaan dua orang sekaligus. Tapi karena satu hari di bulan September, Zaidan Ditya, dan Bramaji Husen, hal itu terasa mustahil. Copyright © 2015 by setyaul