Dia -extended

765 51 0
                                    

Zaid

Sesekali gue melemparkan senyum padanya, yang mungkin dia ngga sadar akan itu. Dia sibuk muter-muter di Sogo, mematut-matut diri di depan cermin dengan berbagai kemeja berukuran L. Gue membayangkan rupa abangnya yang belakangan gue tau namanya Rianto. Seperti apa bentuk badannya, apakah rahang Atha yang terlihat agak keras itu juga dimiliki abangnya, dan seperti apa abangnya itu melindungi Atha.

Walaupun kayaknya cewek kayak Atha ngga perlu dilindungi.

Kecuali karena dia hampir punah, karena jujur, gue baru sekali ketemu orang kayak dia.

Capek dikacangin kadang bikin gue gatel buat pasang earphone dan langsung muter playlist Dialog Dini Hari di iPod. Tapi kali ini, gue mencoba menahan diri gue. Momen kayak gini jarang banget gue dapetin. Mungkin ga akan pernah lagi.

Ketemu sama Atha di mana-mana bikin gue bosen juga pada akhirnya. Bosen ngerasa kikuk. Sering gue temuin diri gue sendiri ngga tau harus ngomong apa, ngga tau harus ngapain. Karena baru kenal kali ya?

Halah dasar naif, gue refleks menampar pipi.

"Kenapa, Id?" Atha menghentikan langkahnya, terlihat bingung sekaligus takut melihat gue.

Gue yang ketangkep basah sedang bertingkah aneh ngga bisa menutupi pipi gue yang kian memerah. Duh, semoga ga kentara. "Ngga. Ada nyamuk."

"Sekarang nyamuk ekspansi wilayah ke Sogo juga ternyata?" Dia terkekeh, terdengar sangat manis di telinga gue.

Ampun deh, Id.

"Capek ya?" Dia bertanya namun matanya masih tertumbuk pada deretan kemeja.

"Lumayan." Gue menyeringai. "Tapi kebayarlah sama liat elo yang muter-muter kayak gasing dari tadi. Hiburan."

Pipinya bersemu merah.

Apa gue salah liat?

"Cari ke tempat lain aja, deh, Id. Kayaknya abang gue emang ga cocok pake kemeja." Atha berkata lirih. "Gue mau beliin albumnya Kodaline aja. Dia suka banget."

Gue berdecak kagum. "Abang sama adek selera musiknya sama-sama bagus ya."

"Emang lo tau gue dengerin apa?"

"Adhitia Sofyan."

Dia menggeleng cepat. "Selain itu?"

"Payung Teduh, Us the Duo, Banda Neira, Sore, Pandai Besi, White Shoes and the Couples Company... Perlu gue sebutin semuanya?"

Atha menghentikan langkahnya. Tangannya dengan sigap mencengkram pergelangan tangan gue. "Lo tau dari mana?"

"Bukan dari Path yang pasti, karena gue ga punya."

"No way, Zaid!" Dia, sekali lagi, menyuguhkan sebuah lengkung yang terpatri indah di wajahnya.

Pada gue.

Oh, God. Help.

--

Ada getaran aneh yang gue rasakan di saku celana gue.

Oh, oke, itu hape gue.

Sebuah panggilan masuk dengan nama Kyana tertera pada layar.

Mati gue!

Gue memilih untuk membiarkan saja panggilan itu. Tidak memencet tombol apa pun dan malah memasukkan ponsel itu ke dalam ransel. Atha yang masih asik bertanya ini-itu pada mas-mas Disctarra sepertinya ngga sadar gue ngapain. Gue memerhatikannya, dan seketika ada desir halus dalam dada gue.

Apa ini?

SeptemberTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang