Zaid
Gue menatapnya dengan tidak percaya. Gue jadi beban buat dia selama ini? Gue nyusahin dia? Gue bikin dia pusing?
"Atha, gue minta maaf."
Dia menggeleng. "Jangan minta maaf dulu." Atha beranjak dari tempatnya. "Udah, ah, baper-baperannya. Ngga penting. Main Scrabble aja yuk?"
Sigh, cewe ini pinter banget nyembunyiin kesedihannya.
Tapi sayangnya, dia ngga cukup pinter buat nyembunyiin itu dari gue.
Atha kembali dengan boks bertuliskan Scrabble di atasnya. Wajahnya kini berangsur-angsur berubah. Lebih sering tersenyum, namun lebih berpura-pura.
Ia duduk di depan gue, mengeluarkan isi boks itu. "Ambil tujuh. Random, ya," katanya sambil mengacak-acak kepingan huruf yang terbalik.
Gue menuruti perintahnya dalam diam, sama sekali tidak bisa mengeluarkan sepatah kata. Ada satu hal yang menyita pikiran gue. Itu pula yang menyebabkan waktu berjalan sangat lambat sekarang ini.
"Suit dulu." Atha menjulurkan tangannya ke gue. Dari gesturnya, gue bisa membaca kalau dia akan mengeluarkan sebuah gunting.
Gue membentuk tangan gue menjadi secarik kertas. I let her win. Although she has always been winning my heart.
Atha menyusun sebuah kata di papan Scrabble. Dizzy. "Your turn, sir."
Gue menatap tujuh kepingan huruf milik gue dengan terbelalak. Entah dewi fortuna lagi baik sama gue atau gimana, tujuh huruf ini bisa membentuk kata yang gue pingin. The word I've been dying to say. Or to be exact, the word(s).
Gue menghela napas, berusaha tenang meski jantung gue seakan bakal lompat keluar. Gue mengambil kepingan itu satu persatu, menyambungkannya di bawah huruf i yang telah Atha susun menjadi kata 'dizzy' tadi.
Gue meletakkannya pelan. Bisa gue dengar detik jam dinding rumah Atha yang besar mulai tidak sabar.
Sebuah huruf terakhir; u. Gue mengalihkan pandangan pada Atha yang kini bergeming menatap kata yang gue susun.
"Curang. Ngga boleh tiga kata." Atha menatap gue sambil tersenyum pahit.
Gue menatap kata itu lagi. Kata-kata tepatnya.
I love you.
Tangan gue meraih tangannya dengan lembut. Mata gue menatapnya sungguh-sungguh walau dia terus menghindari bola mata gue.
"Tha, gue mau jujur, Tha." Gue berkata lirih. "Gue ngga mau bikin lo tambah pening dengan keadaan ini. Gue cuma pingin lo tau."
Gue memerhatikan bahunya yang mulai naik-turun, tanda ia hampir terisak.
"Gue suka sama lo. Gue suka sama lo tanpa tau kapan, kenapa, di mana, gimana. Semuanya terjadi gitu aja tanpa bisa gue kendaliin. Gue tau ini salah, Tha. And if youre wondering, yes. Gue udah tau lo jadian sama Aji. Gue ngaku kalah. Gue terlambat, Tha."
Tangisan itu akhirnya pecah juga.
"Tapi kalo emang Aji yang bisa bikin lo bahagia lebih dari yang gue bisa, kalo emang Aji yang bisa bikin lo ngerasa cukup lebih dari yang gue bisa, kalo emang dia satu-satunya orang yang ada di hati lo, gue bakal berusaha rela, Tha. Semua orang pasti punya seseorang yang segimana pun dia sayang sama orang itu, dia gabakal pernah dapetin orang itu. Dan lo adalah orang itu, Tha, buat gue."
Di tengah tangis kecilnya, ia mencoba bicara, walau bibirnya bergetar. "Tapi Kyana..."
"Iya. Gue emang brengsek dengan udah nyakitin dua hati sekaligus."
"Tiga, Id. Hati gue juga." Dengan itu, Atha melepaskan tangannya dari tangan gue dengan kasar. Kakinya berjalan menuju kamarnya yang remang. Dibantingnya pintu kamar berwarna putih itu keras-keras. Sesekali dapat gue dengar isakan tangisnya.
Gue terdiam, menatap pintu kamarnya, lalu papan Scrabble itu, lalu bantal kecil yang tadi ia rengkuh.
Brengsek emang lo, Id.
Gue menyusul Atha ke depan pintu kamarnya. "Tha, maafin gue..."
Tidak ada jawaban.
"Lo boleh benci sama gue, Tha. Lo berhak."
Masih tidak ada jawaban.
"Gue sayang sama lo, Tha..." Gue memukul pelan pintu kamarnya dengan pasrah.
Kadang jatuh cinta memang semenyakitkan ini.
--
Setelah keluar sebentar buat nyari makan, gue balik lagi dengan seporsi Happy Meal McD. Rumahnya masih kosong, belum ada tanda-tanda nyokap atau bokapnya.
Saat gue datangi, pintu kamarnya masih terkunci.
"Atha, di meja makan ada McD. Makan, ya. Lo boleh marah sama gue, tapi jangan sakit..."
Lama, tidak ada jawaban. Hampir gue menyerah ingin segera pergi dari sana. Tapi sebuah bunyi kunci yang diputar menahan gue.
Pintunya terbuka.
Sosok Atha dengan mata sembap berdiri di hadapan gue. Dalam hitungan detik, dia menghambur ke pelukan gue. Kaku. Namun akhirnya gue memberanikan diri untuk balik memeluknya. Memeluknya dengan segala rasa yang gue punya. Sedikit-sedikit dapat gue rasakan kaus yang gue pakai basah oleh air matanya.
Setetes air turun tanpa disengaja dari mata kiri gue.
Tangis kami pecah, di tengah hawa rumah Atha yang makin lama makin menyesakkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
September
Novela JuvenilAtharis Ghani harusnya tidak bermain-main dengan perasaan dua orang sekaligus. Tapi karena satu hari di bulan September, Zaidan Ditya, dan Bramaji Husen, hal itu terasa mustahil. Copyright © 2015 by setyaul