Stockholm, 8 September 2015
Hari ini, tidak ada lagi tabuhan drum terdengar di telingaku. Tidak ada lagi suara Dan Reynolds atau Matt Healy yang membuat jemariku mengetuk-ngetuk meja dengan cepat. Kini, di sebuah kafe mungil di dekat persimpangan, semua di sekelilingku terasa begitu lambat. Tetes-tetes kopi yang dituang barista ke dalam cangkir porselen, dentum boots para pengunjung, semua terasa begitu lambat.
Hari ini, masih dengan hoodie hitam saat pertemuan pertama kami di kantin sekolah setahunan yang lalu, aku kembali menunggunya. Aku kembali menunggunya dengan debar jantung yang tidak beraturan dan kupu-kupu di lambungku yang seenaknya beterbangan.
Sesosok pria dengan beanie abu-abu memasuki pintu kaca Cafe Fåtöljen yang langsung disambut hangat para pelayan. Ia menoleh ke kanan, kemudian ke kiri. Saat ia menemukanku, ia tersenyum lebar seraya membetulkan posisi kacamata barunya. Rambutnya dibiarkan tumbuh hingga melewati daun telinga. Kemeja tartan yang ia kenakan membalut badannya dengan sempurna. Kaki-kakinya yang jenjang kini berjalan ke arahku. Ia menarik kursi di hadapanku, lalu duduk begitu saja.
Aku menatapnya lama sekali. Ia juga sama, menatapku lama sekali. Bedanya, mataku berkaca-kaca dengan ekspresi paling datar yang pernah kupunya, sedangkan dia dengan senyum jahilnya yang sesekali memamerkan deret giginya yang putih.
"Udah ah. Creepy banget sih lo, jing," katanya sambil tangannya mengusap wajahku dari dahi hingga dagu. Tidak sengaja, aku menjatuhkan sebulir air mata di tangannya. "Why are you crying?" Ia terkekeh.
"Is this for real?"
Ia meraih tanganku yang gemetar memegang garpu bekas memotong bärpajer tadi. Dilepaskannya garpu itu dengan hati-hati. Kini, setelah sekian lama, tangannya kembali mengisi sela jemariku yang kosong.
"How could this be not real?" Ia, lagi-lagi, tersenyum.
"Ngomong pake bahasa Indonesia aja dong biar nggak ada yang ngerti. Tengsin tau."
"JAG SAKNAR DIG, ÄLSKLING!" Ia berteriak, entah artinya apa tapi aku yakin itu bahasa Swedia.
Seisi Cafe Fåtöljen menatap kami sambil tertawa kecil yang serta-merta membuat pipiku berubah merah padam."Woi apaan sih?!" kataku setengah marah. "Apaan itu artinya?"
"Artinya lo jelek mirip dugong."
Aku menjitak keningnya yang tertutup beanie. "Serius?! Tega banget sih!"
Kedua tangannya mendarat pipiku. "Itu artinya 'I miss you, my beloved one'."
--
Kami duduk di bawah pohon yang daunnya menguning lalu gugur, menatap kota Stockholm dari Ivar Los Park. Aku menyandarkan kepalaku di bahunya, menghirup aroma maskulin dari sana. Untuk beberapa saat, kami memutuskan untuk begini saja, dalam diam. Sampai akhirnya ia membenarkan posisi duduknya yang mengharuskanku menyudahi bersandar padanya. Kami kini duduk berhadapan.
"Kamu tau ga, Tha? This is called 'lagom' in Swedish," ujarnya sambil lagi-lagi membetulkan posisi kacamatanya yang berukuran terlalu besar.
Aku menggeleng.
"Not too little, not too much. Just right." Ia tersenyum setelah menyelesaikan kalimatnya. "Your presence, this autumn breeze. It feels so right."
"Kenapa sih harus tiba-tiba perginya? Kenapa nggak ngasih tau?" tanyaku penasaran, karena memang tidak ada yang tahu.
"Kamu inget lembar terakhir notebook waktu itu?" Ia balik bertanya. "Semua udah diatur di situ. Tanggal keberangkatanku, berkas-berkas yang harus diurus, tempat tinggal selama di sini, perhitungan biaya hidup, semuanya ada di sana. Semua udah direncanain dan ya gitu."
"Aku marah waktu itu sama adik kamu sampe idungnya berdarah gara-gara kutonjok. Nggak etis kan udah cakep-cakep pake kebaya tau-tau nonjok orang." Aku merengut. "Salah kamu pokoknya."
"Iya, maaf. Salah aku pokoknya," katanya. "Lip cream-nya suka?"
"Suka!" Aku tersenyum lebar. "Biar dibilang apa sih ngasih gituan? Dipikir aku anaknya Sherlock Holmes bisa mecahin misteri?"
"Clue-nya udah jelas padahal."
Kami dilingkupi hening lagi. Bukan hening yang sepi. Hening yang perlu.
"So, how's Karolinska Institutet?"
Ia merengut lalu menggelengkan kepalanya. "Uh, berat. Kamu ga tau aja ini aku pake beanie nutupin botak."
"Ga lucu, jing." Aku menarik beanie-nya hingga menutupi wajah. "Bikin obat penumbuh rambut dong, Dok."
Ia membetulkan beanie-nya lalu berpaling, menatap sungai di hadapan kami yang airnya mulai membiaskan cahaya senja. "Ga ah. Bikin ramuan biar momen-momen kayak gini awet aja."
Aku menatapnya lama, tersenyum, lalu ikut memandang ke arah yang sama. "Aamiin."
"Aamiin."
"Jangan pergi lagi, Id. Lo bikin gue gila."
"Jangan gila, Tha. Nanti gue ikutan gila."
--
Hari ini, setelah lebih dari seratus hari tidak bersua, aku kembali bisa mendekapnya. Di bawah langit Stockholm yang mulai menggelap, kami duduk berdampingan di kursi kosong di kereta yang kami tumpangi dari Gamla Stan Station. Ini kali pertama di mana aku merasa tidak harus mencemaskan apa-apa. Tidak mencemaskan untuk berapa lama aku bisa tinggal di sini mengingat kuliahku di Yogyakarta yang sedang kutinggalkan sebentar. Tidak mencemaskan apa yang akan kulakukan esok pagi selain lagi-lagi melahap bärpajer lezat di Cafe Fåtöljen. Tidak mencemaskan jam tanganku yang sengaja kumatikan agar waktu bisa membeku sebentar saja, setidaknya dalam pikiranku.
Karena aku tahu, Zaid ada di sampingku.
Dan itu cukup.
Aku mengeluarkan ponselku dari saku saat petikan gitar mulai terdengar dari earphone yang terhubung dengannya. Di layarnya terpampang cover album ketiga Adhitia Sofyan: How to Stop Time. Aku tersenyum, lalu melirik ke arah Zaid.
I met you in a city of a fall, one September night...🎶
•FIN•
KAMU SEDANG MEMBACA
September
Teen FictionAtharis Ghani harusnya tidak bermain-main dengan perasaan dua orang sekaligus. Tapi karena satu hari di bulan September, Zaidan Ditya, dan Bramaji Husen, hal itu terasa mustahil. Copyright © 2015 by setyaul