13 November 2014
"Woi! Gue kok baru tau ya lo jadian sama Aji?!" Suara cempreng Sabila membuyarkan konsentrasiku bermain AA.
"Yaelah mati kan," kataku seraya mengunci iPhone, lalu menatapnya. "Emang gue harus banget ya gembar-gembor ke semua orang kalo gue jadian?"
Sabila kini mengambil iPhone-ku, membuka kuncinya lalu mengambil alih permainan AA yang susah payah kutuntaskan. Iya, dia hafal betul password-ku. "Ya kan jarang-jarang ada yang mau sama lo. Udah gitu kabarnya baru in akhir-akhir ini sih. Padahal udah hampir seminggu kan, ya?"
Aku hanya mengangkat kedua bahuku, tidak acuh. "Gue ga tau kenapa gue nerima dia."
"Maksudnya, lo ngga beneran sama dia?!"
"Bukan, bukaann. Gue ngerasa aneh aja kenapa secepet ini." Aku mengelak dengan gemas. Heran deh sama ini orang, cepet banget ngambil kesimpulan.
"Perasaan kan ngga kenal waktu, Tha," katanya serius. "Lo inget Hilman, mantan gue? Udah pacaran tiga tahun, bisa-bisanya selingkuh. Ga abis pikir gue."
Kubalas dia dengan tatapan aneh.
"Sori sori. Jadi curcol. Ya gitu deh, Tha. Masalah hati mah ngga ada yang tau."
Aku menghela sebuah napas panjang, berat. "Itu dia, Bil. Kalo yang dia rasain cuman perasaan biasa gimana? Kan hati ngga ada yang tau."
Lalu aku beranjak dari tempatku, naik ke lantai dua. Perpustakaan.
--
Jemariku meniti satu-satu buku tebal di rak perpustakaan, lalu pindah merogoh saku hoodie-ku. Shit, lupa bawa hape, batinku.
Gue kok takut ya apa yang gue bilang ke Sabila tadi beneran? Tentang Aji yang ngga serius sama gue.. Atau jangan-jangan, yang ngga serius itu emang gue?
Bruk
Shit, nabrak orang.
"Kok ngelamun sih, Tha?"
Shit, orang ini.
"Hai."
Zaid terkekeh hangat, memamerkan gigi geliginya yang putih dan rapi. "Gue nanya apa, lo jawabnya apa."
"Tadi lo nanya apa ya? Sori sori gue lagi ga fokus."
"Kenapa ngelamun?"
Aku memutar bola mataku, bingung harus menjawab apa. Menjawab dari sebelah mana. "Lagi banyak yang dipikirin."
"Cerita dong."
"Jangan, ah. Nanti jam istirahat lo abis buat dengerin gue yang ga penting banget."
Kaki-kaki kami berjalan begitu saja, dan tanpa sadar sudah meninggalkan ruang perpustakaan. Kenapa... Kenapa setiap bersamanya, aku seperti setengah sadar, setengah linglung, setengah kikuk, setengah apalah itu? I run out of words.
Apa iya, ini yang selalu orang katakan tentangnya?
Bahwa ia begitu memesona?
"Jadi masih belom mau cerita, Tha?" Suaranya yang lembut memasuki gendang telingaku, lalu membuatku tersadar akan pikiranku yang melayang entah sudah sampai mana.
Aku menggeleng, dan ia tidak memaksa.
Sesederhana itu aku merasa dihargai.
"Ya Allah, gue lupa! Gue harus balik lagi nih, ke perpus. Buku yang gue mau pinjem malah ketinggalan. Aneh ya. Kalo sama lo, gue jadi lupa segalanya gitu. Ketemu nanti lagi ya, Tha!" Zaid secepat kilat lari ke arah yang kami tadi telah lalui berdua.
Dia merasakan hal yang sama denganku?
--
"Kamu jadi mau aku anterin beli kadonya?" Aji bertanya padaku via telepon, entah ke mana dia saat bel pulang sekolah berdering tadi.
"Ngga usah, ini udah di taksi. Aku buru-buru, tadi nyariin kamu, kamunya ngga ada."
Yang diujung sana nadanya terdengar begitu merasa bersalah. "Maaf, Sayang. Aku tadi di lapangan belakang sama anak-anak, main futsal."
Sayang. Asing.
"Iya, ngga papa. Lanjutin aja futsalannya."
"Ini udahan. Mau aku susul?"
"Ngga usah, Ji."
"Yaudah, nanti kabarin ya kalo udah sampe rumah. I love you, Tha."
What the heck is wrong with this dude?
Or
What the heck is wrong with me?
Aku merasa begitu asing.
"Neng, udah sampe, neng," kata si Bapak supir. Aku segera mengeluarkan dua lembar sepuluh ribuan dan turun dari taksi, ingin secepat-cepatnya sendirian.
Tapi kayaknya ngga bisa.
Shit, ada Zaid?
--
"Gue bingung, kenapa dari sekian banyak tempat yang gue datengin, pasti selalu ketemu lo," katanya sambil sesekali menyendoki Matcha Parfait miliknya.
"Jangan pernah mikir kalo gue sengaja ya, karena gue juga bingung, Id."
Dua gelas parfait dan seporsi french fries. Cukup.
Sepertinya hanya Zaid seorang yang belum mengetahui status hubunganku dengan Aji. Apakah harus kuberi tahu?
"Id, lo ngga tau ya?"
"Tau apa?" Ia masih dengan santai menyendoki parfait-nya.
Tuhkan belum.
"Ngga. Nevermind."
Zaid mengelap bibir dengan tangannya. Seperti adik sepupuku yang berumur tiga tahun. Lucu.
Anjriiit apaandah, Tha? batinku.
"Lo ke sini mau ngapain, Tha?"
"Beli kado buat abang gue."
Zaid membelalak kaget. "Lo punya abang?"
"Punya. Tapi dia lagi kuliah di Jogja. Kangen juga rasanya. Ga enak ya LDR sama keluarga."
Kali ini, ia tersenyum. "Gue juga suka mikir, gimana nanti adik gue kalo gue tinggalin. LDR deh nanti," katanya sambil menerawang. "Gue bantu cariin, boleh?"
"Lo lagi ga sibuk emang?"
"Nope!"
"Bukannya lo Wall Street?"
"Besok aja."
Zaid meraih tanganku yang sedang mencomoti sisa-sisa french fries, membersihkannya, lalu menggandengnya.
Seolah aku belum ada yang punya.
KAMU SEDANG MEMBACA
September
Teen FictionAtharis Ghani harusnya tidak bermain-main dengan perasaan dua orang sekaligus. Tapi karena satu hari di bulan September, Zaidan Ditya, dan Bramaji Husen, hal itu terasa mustahil. Copyright © 2015 by setyaul