26 November 2014
Aku berani jamin aku tengah memasuki masa-masa jenuh menjadi anak kelas tiga SMA. Pendalaman materi tiap hari, bimbel yang merusak rutinitas me-time-ku, tuntutan nilai bagus. Sumpah, rasanya pingin kabur aja ke Praha.
"Uy uy." Tangan mungil Sabila mencoleh punggungku dari belakang. "Yang ini gimana caranya?" Sekarang tangan itu pindah menunjuk buku tebal berisi bermacam soal UN tahun-tahun sebelumnya.
"Ambis banget dah, istirahat aja belajar." Aku berdecak kagum setengah meledek. "Ye elah lo nanya ke gue? Udah tau gue ga ngerti apa-apa tentang fisika."
"Halah kipak. Tau-tau UN lo nanti dapet cepek."
Aku mengusap wajah dengan kedua tanganku. "Aamiin." Lalu disambut tangan Sabila yang menoyor pipiku keras.
"Kampret."
"Bodo, ah." Aku kembali melanjutkan aktivitasku: main Polyvore. Kegiatan paling manjur buat ngilangin stres, menurutku. Kecuali kalau aku tidak mendapatkan item yang cocok untuk mix and match, yang ujung-ujungnya malah bikin tambah stres.
Tiba-tiba seorang laki-laki berbadan tegap memasuki kelasku dengan santai. Sweater abu-abu yang ia kenakan membungkus sempurna tubuh itu. Ada wewangian khas yang merebak saat dirinya berjalan ke arahku: kayu mahogani.
"Hai," sapanya lembut. Umm.. dilembut-lembutkan?
Aku tersenyum sekenanya. "Hai."
"Nanti pulang sama aku kan?"
"Iya."
"Seafood dulu yuk?"
Aku menggeleng samar. "Ngga, ah."
"Kamu tuh kenapa sih?" Nada bicaranya sedikit meninggi, menyiratkan bahwa amarahnya mulai tergelitik. Dasar emosian.
"Ngga kenapa-napa."
"Sekaliiiii aja, Tha. Please?" Ia berlutut di samping mejaku yang membuat kini tingginya sama denganku yang sedang duduk. Matanya menatapku lurus-lurus. Ugh, puppy eyes.
Aku mengangguk. Mungkin itu satu-satunya jalan agar dia segera enyah dari pandanganku.
Sabila yang kupikir dari tadi masih sibuk ambis, ternyata malah menonton aku dan Aji. Katanya sih hiburan gratis.
"Lo aneh, deh, Tha. Lagi kenapa?"
"Ngga mood aja."
"Ngga mood atau mulai jenuh sama hubungan lo yang belum nyampe sebulan ini?"
--
Dengan seporsi nasi goreng kambing di tangan, aku duduk sendirian di pojok kantin. Hampa. Ngga asik, batinku, terakhir pacaran seinget gue lebih berbunga-bunga dari ini.
"Gue duduk sini ya, Tha?"
Shit.
Tapi akhirnya kubalas dengan anggukan juga.
"Kok ngga makan, Id?"
"Lagi pesen kwetiau. Makan aja duluan." Zaid memainkan ponselnya sebentar, lalu menguncinya. "Btw, lagunya gimana, Tha?"
Kemudian aku tersedak.
"Minum, minum. Buru-buru sih makannya. Laper banget ya?" Tangannya dengan sigap mengarahkan sedotan es jeruk padaku.
"Iya laper banget."
"Jadi lagunya gimana?" Ya Tuhan, ternyata dia belum teralihkan juga perhatiannya.
Aku berdeham tiga kali. "Gue belum bikin, Id.."
"Sama sekali?"
"Sama sekali," kataku lirih.
Kwetiau pesanannya datang dan aku sangat berterimakasih pada abang tukang kwetiau yang telah memberikanku sedikit waktu untuk memutar otak, mencari jawaban yang tepat kalau-kalau Zaid bertanya 'kenapa'.
"Kenapa?" Nah kan.
"Lagi sibuk. Belum ada waktu buat bikinnya.. Gue ga bisa nulis kalo dipaksa."
Zaid tersenyum sinis. Sisi lain dari dirinya yang dingin itu membuatku terpojok. Ada yang beda. "Semua orang juga sibuk kok, Tha. Gue juga mau UN, sama kayak lo."
Aku bungkam, kehilangan pertahanan.
Sisa makanan kami, kami habiskan dalam diam. Tidak ada bunyi-bunyian selain denting sendok yang beradu dengan piring masing-masing kami. Setelah melahap suapan terakhir kwetiaunya, dia buru-buru menghabiskan es teh manisnya. "Desember udah deket, Tha. Gue harap lo punya kalender di rumah."
Lalu kakinya melangkah menjauh.
--
"Kamu ngelamun," kata Aji dengan mulut belepotan sambal matah. Ngga pedes apa, ya?
"Ngga, kok. Lobsternya enak banget sampe aku kehabisan kata-kata." Kemudian aku bangga dengan kemampuanku beralasan.
"Tha, if something bothers you, please let me know. Mungkin aku bisa bantu."
Aku tersenyum samar, saking samarnya, aku tidak yakin ia melihat itu.
"Jangan bikin aku ngerasa ngga berguna buat kamu, karena kadang aku ngerasa kayak gitu.."
Duh kenapa sih semua orang hari ini hobi banget membuatku ngerasa bersalah?
Aku meraih tangannya yang kini berhenti memilih cumi goreng tepung mana yang akan memasuki perutnya, menatapnya dengan sungguh-sungguh. "Aji, jangan gitu dong. Aku ngga maksud bikin kamu ngerasa kayak gitu sumpah, aku juga ga tau kenapa kamu ngerasa kayak gitu tapi plis jangan lagi." Aku menarik napas, menghelanya dengan halus. "Aku butuh kamu."
Ia tersenyum. Sungguh ampuh rupanya mengusir sedikit rasa bersalah yang menghinggapi dadaku.
--
Nada dering ponselku terdengar saat aku sedang merapikan meja belajar.
Zaid?
"Ternyata sibuk pacaran toh? Enak ya makan seafood?" Suara bernada sinis itu kini kembali muncul, namun aku belum juga terbiasa.
"Hah?"
Bagaimana dia bisa tau?
"Gue kecewa sama lo, Tha."
Sebuah kalimat dingin mengakhiri pembicaraan singkat kami. Tanpa berpikir panjang, aku mengobrak-abrik lagi meja yang barusan kurapikan, mencari notebook Zaid waktu itu. Aku meraih sebatang pensil dan secarik kertas, memutuskan untuk tidak tidur semalam suntuk.
KAMU SEDANG MEMBACA
September
Teen FictionAtharis Ghani harusnya tidak bermain-main dengan perasaan dua orang sekaligus. Tapi karena satu hari di bulan September, Zaidan Ditya, dan Bramaji Husen, hal itu terasa mustahil. Copyright © 2015 by setyaul