Malam Tahun Baru

759 44 8
                                    

Malam tahun baru 2015

Tadinya, aku mengharapkan tur ke Gili atau mungkin sekadar jalan-jalan ke Bandung mengingat hasil rapotku yang (Alhamdulillah banget) masih peringkat 1 di kelas. Tapi nyatanya, di sinilah aku, terduduk di beranda rumah sambil memandangi langit yang sudah dipenuhi kembang api padahal ini belum tepat pukul 12. Sesekali aku melirik iPhone yang tergeletak di meja kecil di sampingku. Tidak ada pesan masuk yang menggerakkanku untuk membalasnya, hanya ada beberapa notification dari grup kelas.

Aku meraih sebungkus Maicih level 5 lalu membuka bungkusnya. Sepi banget. Mama dan Papa sedang menghadiri acara makan malam dengan kolega mereka di salah satu restoran di SCBD. Jadilah aku ditinggal sendirian di rumah. Tidak betul-betul sendirian, sebenarnya. Ada Mbak Tini di dapur, sedang membuatkanku sebungkus mi instan rasa kari ayam.

Mi instan never fails me.

Riuh kembang api rupanya tidak menganggu otakku untuk terus-terusan memutar adegan di Annual Creativity Week semingguan yang lalu. Kadang saat aku menatap bayanganku di cermin, aku suka bergumam sendiri. Berpikir ada monster macam apa di dalam tubuhku yang bisa dengan tega menyakiti hati seorang Aji.

Aji ga salah, batinku. Zaid juga, gue juga. Waktunya aja yang ga pas.

"Neng? Bengong weh." Mbak Tini tiba-tiba sudah bersandar ke kusen pintu di sampingku, membuatku terkejut.

"Apaansih, mbak? Aku kaget tau."

Mbak Tini malah cengengesan. "Nih, mi-nya, neng," ujarnya sambil meletakkan semangkuk panas mi instan di meja.

"Makasih ya, Mbak. Mbak kalo mau juga, bikin aja."

Yang ditawari mi instan malah mesem-mesem. "Ngga ah, Neng. Mbak lagi galau."

"Kenapa?"

"Pacar Mbak, si Jepri, lagi di Bali belom ngucapin selamat tahun baru. Padahal mah sekarang di sana udah jam 12 atuh?" katanya sambil menatap rembulan yang redup.

"Yeelah. Belom isi pulsa kali, mbak. Tenang aja."

BUSETDAH MBAK TINI AJA PUNYA PACAR, batinku lagi.

Bukannya lo juga punya ya, Tha? Tapi lo sia-siain gitu aja.

Anjir diem lu, Tha.

Oke, cukup dengan sesi ngomong sendirinya.

"Yaudah, neng. Mbak masuk dulu ya," katanya sambil kembali masuk ke dalam rumah, meninggalkanku dan semangkuk mi instan di sampingku.

--

Sebuah Honda Brio berwarna putih tiba-tiba saja mematikan mesinnya di depan rumahku.

Ah anjir.

Zaid keluar dari sana sambil menenteng sebuah kantung kresek yang kutebak isinya adalah sate. Ia melambaikan tangan dari luar pagar, lalu membukanya.

"Hai," katanya saat tiba di hadapanku.

"Ngapain?"

"Idih jutek banget dah???" ujarnya sewot, lalu ia menempati kursi di sebelahku. "Sate padang nih. Tadi gue ke Benhil dulu. Untung jualan."

Sate padang. Aji.

Aku memandangi kantung kresek hitam itu dengan tatapan kosong. Zaid malah bergidik ngeri melihatku seperti orang kerasukan.

"Kenapa sih? Ngga suka sate padang?"

Aku kontan menggeleng. "Suka. Tapi kayaknya buat Mbak Tini aja deh. Kasian dia belum makan. Tadi gue udah makan mi." Jariku menunjuk mangkuk kosong bekas mi instan tadi. Aku meraih kantung kresek berisi sate padang itu ke dalam rumah, memberikannya pada Mbak Tini yang senang bukan main mengingat perutnya mulai keroncongan juga.

Zaid mengangkat kedua bahu, seperti mengisyaratkan ya-bodo-amat-terserah-lu-dah-untung-gue-sayang-sama-lu.

"Ngapain ke sini?" tanyaku setelah kembali dari dalam.

Dia menyeringai. "Karena gue tau lo ga bakal ke mana-mana."

"Iya, tapi gue ngga minta lo dateng."

"Ya gue tau," katanya lirih. "Gue tau lo masih sedih."

Aku menggeleng keras. "Engga. Gue ga sedih."

"Oke, ga sedih. Tapi ngerasa bersalah, ngga enakan, capek. Iya atau ngga?" Ia bertanya dengan santai. "Gue tau, Tha. Karena gue ngerasain juga."

Hening, seakan tetangga-tetanggaku sengaja berhenti main kembang api untuk beberapa saat.

"Gapapa. Tahun udah mau ganti. Bakal ada 365 hari yang baru lagi, mudah-mudahan. Lo, gue, Aji, kita semua bisa mulai lagi dari awal," katanya sambil membelai lembut rambutku.

"Gue cuma takut lembaran yang baru ini, yang tadinya masih putih, bersih, kosong, tiba-tiba kecipratan air comberan yang gue tumpahin kemarin itu." Aku meringis.

Zaid menggeleng lemah. "Bukan lo doang, gue juga. Kita bareng-bareng, Tha."

Jam di iPhone-ku menunjukkan pukul 23:49. Udara malam semakin dingin. Kembang api kian bersahutan dari sana-sini.

"Atha," panggil Zaid dengan suaranya yang pelan. "Sebenernya, abis ini kita mau gimana sih?"

Pertanyaan itu mengunci bibirku, dan kemampuan berpikirku karena jujur saja, aku tidak tau.

"Ngga mungkin kan tiba-tiba gue jadian sama lo, Id? Gue ga bakal mau nyakitin Aji lagi." Aku meremas ujung kausku tanda tidak nyaman.

"Kita bisa backstreet, Tha."

"No chance, Zaid. Bakal ketauan juga akhirnya, percaya deh," kataku kekeuh. "Dan lo lupa kalo lo... punya Kyana."

Kami diam lagi.

"Ngga kebayang gue gimana reaksinya pas tau, Id."

"Sama."

Lalu kami menatap kaki kami masing-masing. Aku takkan mau menyakiti siapa-siapa lagi. Karena sebetulnya, saat kita menyakiti orang lain, apalagi secara tidak sengaja, ada bagian dari diri kita yang sama tersakitinya.

--

"SELAMAT TAHUN BARUUUU!!" Sorak-sorai tetangga gue diimbangi dengan tiupan terompet dan kembang api yang heboh.

Pukul 12 tepat. Tahun 2015.

"Happy new year, Tha," katanya sambil menatap mataku lekat-lekat.

"Happy new year, Id," balasku sambil balik menatapnya.

Zaid memalingkan pandangannya yang kini mengarah ke atas. "Liat kembang api yang itu, Tha?" tanya Zaid sambil menunjuk sebuah kembang api berwarna merah bercampur ungu dan emas.

"Iya. Kenapa?"

"Buat lo. Tadi gue pesenin."

"PAANDAH BACOT LU GEDE." Aku berusaha menutupi pipiku yang memerah di bawah lampu terasku yang cukup terang ini.

Zaid terkikik geli. "Ngga deng, bercanda."

Tuh kan.

"Atha."

"APAANSI BELOM PUAS TADI NGERJAIN GUE?!" Aku berseru dengan kesal.

"Atha," panggilnya sekali lagi.

Perlahan, Zaid menarik wajahku mendekat ke wajahnya, lalu mendaratkan sebuah kecupan di bibirku.

SeptemberTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang