Tidak Sendirian

1K 62 1
                                    

5 Oktober 2014

Toko buku impor yang berada di lantai 2 pusat perbelanjaan ini tidak begitu luas. Hanya ada beberapa rak yang membedakan buku-buku berdasarkan genrenya. Aku sendiri sedang diapit oleh buku-buku biografi tokoh terkenal. Salah tempat.

Minggu siang. Aku sengaja mengosongkan jadwal untuk menjalankan rutinitasku yang paling kusuka: me-time!

Aku melangkah, melewati dua rak lagi. Tibalah aku di bagian buku anak-anak. Terkejutlah aku mendapati seseorang yang tak asing. Laki-laki itu sadar akan kehadiranku. Ia menoleh, lalu memberikanku sebuah senyum simpul.

Zaid.

"Ngapain?" tanyaku basa-basi.

"Lagi cari kado buat adik gue." Zaid menimang-nimang sebuah buku berjudul Ballet Stories. "Lo?"

Aku mengangkat kedua bahuku. "Cari kado buat diri sendiri, mungkin?"

Zaid kembali menatap buku-buku Classic Starts yang lain. "Emangnya lo mau ulang tahun?"

Aku tertawa kecil. "Februari. Masih tahun depan."

Ia mengabaikanku. "Mending yang mana?" Zaid melirik dua buah buku di tangannya secara bergantian: Ballet Stories dan Heidi.

Aku menunjuk ke arah tangan kanannya: Ballet Stories.

"Kenapa?"

"Gue suka liat orang nari ballet. Indah."

"Lo ballet juga?"

Aku menggeleng keras. "No, sir. Gue kayaknya ngga terlahir buat nari ballet."

Zaid menatap buku itu sekali lagi. Tersenyum, lalu balik menatapku. "Makasih, ya, Tha."

"No prob!" seruku sambil melenggang ke section berikutnya: food recipes.

Mataku mencari buku yang kudapat informasinya dari google. Jamie's 30 Minutes Meals. Sebenarnya, aku tidak tau pasti mengapa aku ingin sekali punya buku ini. Kau tahu rasanya bosan dengan makanan yang itu-itu saja? Ya, mungkin itu alasanku.

"Masih cari kado buat diri sendiri?" Tiba-tiba suara itu terdengar dari belakangku.

Aku hanya mengangguk sebisanya.

"Buku apa?"

"Jamie's 30 Minutes Meals."

"Jamie Oliver?" tanya Zaid. "Itu kan udah lama."

Aku berbalik. Jarak antarrak yang tidak lega membuat aku dan Zaid kini begitu dekat. Tidak sedekat yang kaubayangkan, tentu saja. Tapi dekat.

"Rilis 2010 kok."

"Udah empat tahun yang lalu, Atha."

Aku tertawa lagi. Ya ampun, Atha, apa sih yang lo bisa selain tertawa? Malu deh sumpah.

Kikuk, aku keluar dari toko buku tadi. Meninggalkan Zaid di sana. Kudengar beberapa kali ia memanggil namaku. Dan kalian semua harus tau, seberapa banyak tenaga yang kukerahkan untuk tidak berbalik badan.

--

"Makasih, mas."

Di hadapanku kini terduduk manis seporsi salmon flame roll. Tampan sekali dia, begitu memesona.

Restoran sushi ini bercat dinding hitam. Lampunya juga remang. Aku tidak mengerti apa tujuannya, tapi makanannya enak, jadi aku suka. Ya sudahlah, maafkan kepolosanku ini.

Aku memandangi setiap orang yang berlalu-lalang. Ada yang menenteng paperbag Victoria's Secret, ada yang sedang menelpon dengan nada tinggi (kedengaran sampai tempatku soalnya), ada yang lari-lari menuju toilet, sampai ada yang bergandengan tangan seperti di kebun raya. Tunggu, dari sweater yang si laki-laki kenakan, aku tau betul ia adalah laki-laki yang kutemui dengan tidak sengaja di toko buku tadi. Ia ternyata tidak datang sendiri ke sini. Dan perempuan berambut hitam itu...

Gigi si perempuan terlihat sangat rapi, sedang si laki-laki selalu melemparkan guyonan lucu padanya, mencoba terus membuatnya tertawa. Sesekali si laki-laki mengedarkan pandangannya ke sekeliling, seperti mencari bahan guyonan baru untuk perempuan di sampingnya.

Matanya menemukan mataku.

Ia tersenyum.

Aku membalasnya.

Lalu berpikir, akukah bahan guyonan berikutnya?

SeptemberTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang