Talk About...

20 8 3
                                    

Han masih terdiam. Masih berpikir kalimat apa yang hendak di ucapkan.

"Ayo cerita, kamu berhutang banyak penjelasan ke saya." Kata Rey menuntut. Han kemudian menghela nafas panjang.

"Banyak sekali yang ingin saya beritahu ke kamu. Tapi bingung yang mana dulu."

"Kenapa kamu tidak datang lagi di hari kedua? Kenapa kamu gak serius sama saya?" Rey tiba-tiba frontal. Seperti isyarat ingin di perjuangkan.

"Saya gak datang bukan karena tidak serius."

"Terus?" Rey jadi semakin penasaran.

"Waktu itu saya bilang akan jemput kamu naik motor setiap hari, padahal kamu bisa naik mobil. Sebelumnya saya juga pernah bilang, kalau kamu akan suka sama saya dua atau tiga bulan lagi. Tapi sebenarnya, ada yang lebih pantas membuat kamu jatuh cinta daripada laki-laki minim finansial seperti saya. Saya terlalu percaya diri, sampai lupa di mana kaki saya berpijak."

Rey tertegun. Untuk pertama kali laki-laki ini bicara serius. Berterus terang lebih dari sebelumnya. Apakah dia sudah putus asa mengejar? Atau perasaan minder yang banyak di miliki kaum Adam saat bertemu gadis dengan perawakan sempurna?

"Dan saya butuh rasa yakin bahwa kamu tidak merasa malu."

"Malu karena apa?"

"Ya, perempuan seperti kamu biasanya malu jalan sama saya." Pandangan Han berubah teduh.

"Kenyataannya enggak kan?" Rey tersenyum yakin.

"Tapi saya sudah gagal buat kamu suka sama saya."

"Masih ada beberapa Minggu untuk buat saya suka sama kamu." Rey menantangnya.

"Apa sekarang udah ada tanda-tanda kamu suka sama saya?" Han menggodanya. Kali ini dia tidak geer. Rey sendiri sebenarnya sudah menyimpan perasaan meski ia masih ragu.

Rey hanya mengangkat bahu nya sambil tersenyum. Membiarkan Han menerka sendiri.

Pesanan mereka datang. Memotong kehangatan pembicaraan.

"Saya biasa beli di sini Rey, enak kan?" Kata Han sambil menunjuk mangkok mie ayam bakso.

Rey kemudian mencicipi kuahnya. Memang enak, tapi tidak lebih enak dari mie rebus.

"Iya enak."

Mereka habiskan waktu makan sambil ngobrol ngalor ngidul kemana-mana. Rey merasa bisa tertawa lepas dengannya. Laki-laki ini membuat harinya jadi sedikit ramai dan penuh sesak rindu.

"Pak?" Rey memanggil si Bapak penjual.

"Iya Neng?"

"Bungkus satu ya Pak."

"Oke Neng."

"Kamu mau nambah? Kenapa gak di sini aja?"

"Bukan buat aku, tapi buat Mami."

"Enggak shock nyonya besar makan makanan pinggir jalan?" Han tertawa kecil. Rey hanya menggeleng.

Saat ingin membayar...

"Udah saya aja." Han meminggirkan uang Rey.

"Saya gak mau di bayarin, saya kan punya uang." Tapi gadis ini ternyata tidak suka ketenangan.

"Si Bapak gak ada uang pecah, udah pake uang saya aja." Han memaksa dengan alasan klasik.

"Makasih ya."

Han yang tadinya sibuk memasukkan uang ke saku celananya, kini memandang gadis di hadapannya. Yang biasanya bersuara jutek, sudah mulai lembut.

"Sama-sama Dokter Cantik. Yuk saya antar pulang."

Rey mengangguk. Motor Matic butut milik Han kemudian melaju dengan kecepatan rendah.

"Kok lambat banget?"

"Sengaja, biar makin lama barengnya."

"Dasar kamu tuh ya." Rey kemudian melanjutkan kalimatnya.

"Nanti kalau kamu sudah punya Hp lagi, telpon saya."

"Gak mau ahh."

"Kenapa?" Rey bertanya heran dengan wajah cemberut.

"Kalau di telpon, nanti saya gak punya alasan buat sering datang ke rumah sakit."

******

Rey turun dari radius lima meter dari rumahnya. Takut kalau orangtuanya melihat.

"Kamu hati-hati pulangnya, jangan ngebut." Titah Rey

"Siap Tuan Putri. Pengawal mu minta diri, mau pulang mau mandi."

"Iya emang harus mandi, kamu bau."

Han cengar cengir saat Rey kemudian melambaikan tangan. Ia menemukan kembali percaya dirinya.

"Dari mana kamu?" Tanya Mami yang menunggui Rey di depan pintu rumah.

"Nih beliin Mami Mie Ayam." Kata Rey sambil menyodorkan sebuah kantong plastik berisi pesanannya tadi.

"Serius?" Mami menerima bungkusan tadi. Buru-buru di bawa ke dapur. Rey sendiri tersenyum simpul. Ibunya emang gampang luluh pake Mie Ayam.

"Enak Rey... Emm. Kamu beli di mana?" Wajah Mami Eli seperti tidak makan setahun.

"Di pinggir jalan Gondangdia." Rey menjawab dengan yakin.

"Hah?Kamu beliin Mami makanan pinggir jalan? Tapi ini enak banget sih." Mami memandang sendok berisi kuah, ia terus menyuap ke mulutnya dengan mata melotot. Rey sendiri jadi melongo di buatnya.

To Rey (The Letter Of Love)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang