Like father like son

1.7K 147 1
                                    

It's been a week.

Masih sama seperti hari hari sebelumnya, tidak ada kabar apapun dari Irish. Bahkan paman Archie dan paman Tylor, mereka juga tidak bisa dihubungi.

Sedikit banyak aku mengerti tentang betapa berbahayanya mafia Italia. Mereka adalah jaringan terkuat mafia di seluruh dunia. Mereka licik dan akan melakukan segala cara kotor untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan. Dan bagian terburuknya adalah kekasihku sedang berperang dengan mereka.

Aku mulai merasa cemas. Bagaimana jika sesuatu hal terjadi pada Irish? Satu minggu bukanlah waktu yang singkat. Pasti disana benar benar sulit untuk melumpuhkan para mafia itu.

Segalanya terasa begitu sulit. Irish pergi dengan membawa rasa kecewa dariku. Bagaimana jika hal itu benar benar menyakitinya dan membuatnya kehilangan konsentrasi lalu terluka?

Bibi Tamara bilang, "Irish bukan gadis cengeng dan lemah, Sammy. Dia tidak akan mudah patah hati. Kau percaya kan kalau dia adalah wanita yang kuat sejak dulu?"

Ya, untuk kali ini saja aku berharap semoga Irish memang tidak terluka karena diriku. Aku berharap dia memang baik baik saja, setidaknya sampai kami bertemu dan aku memiliki kesempatan untuk meminta maaf padanya.

Tapi meski aku sudah berkali kali mencoba untuk tenang, aku tetap tidak bisa. Aku terus merasa resah selama Irish belum kembali. Oh, God.. Firasatku begitu buruk kali ini.

Dan ya, apa yang ku takutkan benar benar terjadi.

Pukul 10 malam, suara helikopter menderu dari roof top rumah. Itu adalah helikopter dari Amalfi. Semua orang termasuk para pelayan dan pengawal lainnya datang ke roof top untuk menyambut mereka yang kembali setelah berperang, itu sudah menjadi tradisi untuk menghargai mereka yang selalu loyal dan siap berkorban.

Ada sekitar 5 helikopter yang datang. Sebagian mendarat di atap, sebagian lagi mendarat di halaman depan rumah yang luas.

Aku berdiri di antara ibu ayah ku. Kami menatap satu persatu pengawal yang turun, sebagian juga ada yang di angkut karena terluka. Suasana berubah menjadi duka saat para medis berlarian mendekati mereka yang butuh bantuan. Jumlah orang yang terluka ternyata jauh lebih banyak daripada yang selamat.

Tubuhku seolah kehilangan tenaganya saat paman Tylor keluar sambil menggendong Irish yang terlihat kacau dengan banyak noda darah di pakaiannya, terutama di bagian perut. Hal berikutnya yang ku dengar adalah jeritan bibi Alisha.

Aku berlari menghampiri Irish, begitupun dengan bibi Alisha, ibuku, bibi Tamara, dan juga Ammy. Namun belum sampai kami mendekat, segerombolan para medis sudah terlebih dahulu mengurumuni Irish dan memindahkannya ke brankar untuk memberi pertolongan pertama.

Aku benar benar tidak berdaya saat melihat bibi Alisha terus menangis dan meronta di pelukan paman Tylor. Bibi Tamara dan Ammy sudah memeluk pama Archie yang kembali dengan selamat.

Keadaan terlihat semakin kacau beberapa saat kemudian. Tubuh Irish mengalami kejang, bibi Alisha pun juga ikut pingsan.

************

Hari hampir tengah malam saat aku berdiri di depan ruang rawat inap yang ditempati Irish. Melalui jendela kaca di dekat pintu ini aku bisa melihat gadis itu terbaring dengan begitu tenang.

Rasa takut itu kembali menghampiriku. Rasa takut untuk kehilangan seseorang karena kematian setelah kepergian Grandpa. Meski dokter berkata bahwa kondisinya sudah stabil, aku masih tetap khawatir selama dia belum membuka mata.

Rasanya sungguh berat saat aku harus menunggunya di depan ruang operasi selama hampir delapan jam. Dia juga sempat kehilangan banyak darah, bahkan aku pun juga sudah mendonorkan banyak darah untuknya. Apapun akan ku lakukan demi Irish, kekasih ku.

Aku sudah menahan diriku untuk tidak menangis sekarang. Namun pada akhirnya aku tidak bisa. Melihat kondisi Irish yang seperti ini membuatku ikut merasa tidak berdaya.

Aku bisa merasakan seseorang menyentuh pundak ku. Aku sedikit terkejut, namun hanya sesaat sebelum orang itu berkata, "Hei, son.."

Oh, itu ayahku.

Tanganku berusaha menghapus air mata yang sempat jatuh di pipi ku, tidak ingin terlihat cengeng di depan ayahku. "Dad, you here?" Ucapku basa basi sambil mencoba tersenyum dan terlihat baik baik saja.

"No, no, no. It's oke.."

Siapa sangka ayahku justru menahan tangan ku yang berusaha mengusap pipi ku?

Aku menatap ayah ku lama. Umm.. Ini terasa sedikit tidak biasa.

Ini sudah hampir tengah malam. Untuk apa ayah kemari?

"Kenapa ayah berada disini? Ini sudah malam."

"Aku mengikutimu."

Oh, jadi ayah melihatku keluar rumah tadi?

"Son, C'mon.. Come here,"

Ayah tersenyum tipis dan merentangkan tangannya di hadapanku, memintaku untuk datang ke pelukannya. Oh, aku bersumpah aku sudah bersusah payah menahan diri untuk tidak menghambur ke pelukannya, namun itu hanya bertahan selama beberapa detik saja.

Persetan dengan ego sialan atau apapun itu, aku hanya ingin dipeluk oleh ayahku. Aku kembali menangis, dan beruntung ayah tidak keberatan karena itu.

"I'm sorry,"

Dari sekian banyak kata yang bisa ayah katakan, kenapa justru permintaan maaf itu yang dia ungkapkan?

"I'm really really sorry."

Aku bisa mendengar nada penyesalan yang besar di dalam kalimatnya. Suara ayah bahkan terdengar sedikit tercekat, mungkin ayah juga sedang menahan rasa sesak.

Aku menarik diri dari pelukan ayah dan bertanya, "Ayah, ada apa?"

"Maafkan daddy. Daddy yang sudah mengirim Irish untuk pergi ke Amalfi."

Aku tertawa kecil, mencoba memperlihatkan pada ayah bahwa aku baik baik saja meski menyataannya aku memang sedang kacau. "Itu pekerjaan Irish. Dia sendiri yang sudah memilihnya sejak dulu. Ayah tidak perlu merasa bersalah."

Ya, aku bersungguh sungguh untuk kalimat terakhirku.

Tidak ada yang perlu disalahkan. Aku sangat sadar bahwa ini adalah resiko dari pekerjaan Irish. Ini bukan salah siapapun.

Ayah hanya terdiam menatapku. Meski ku tahu ada lebih banyak hal yang ingin dia ungkapkan, kalimat yang keluar dari mulutnya justru adalah, "Ya.. So, how was it feel?"

Oh, Really?

Ayah peduli pada apa yang kurasakan? Mataku kembali berkaca kaca karena kembali mengingat kondisi Irish.

"Dad,.. I'm afraid so badly.."

Jelas sekali suaraku terdengar serak dan bergetar.

"It's oke, Sammy. I have been in your position too. I know how it feels."

Ayah mengusap punggung ku. Ku rasa ayah benar benar mengerti apa yang ku rasakan.

"Aku juga pernah berdiri di depan pintu kamar rawat inap milik ibumu, jauh sebelum kau lahir. Rasanya sangat menakutkan jika satu satunya perempuan yang kita sayangi sedang bertarung antara hidup dan mati."

"Irish.. Bagaimana jika dia tidak bangun lagi? Daddy.. Aku bahkan belum meminta maaf padanya. Aku sangat takut--"

"No, it will not. She's wake up, Son."

Wait!

"She's what?"

"Wake up,"

Ku lihat ayah tersenyum tipis menatapku. Saat aku berbalik dan menatap jendela kaca, aku bisa melihat Irish sedang menyentuh kepalanya. Dia terlihat merintih kesakitan, namun hal itu sangat berarti bagiku.

The SASSY GirlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang