18. Dream

911 189 17
                                    

"Sial!"

Lisa mengumpat ketika lagi-lagi ia harus terbangun dengan napas terengah dan keringat mengalir membasahi seluruh tubuhnya. Mimpi itu datang lagi. Ruangan gelap, Roseanne dan blablabla; Lisa bahkan sampai muak mengingatnya. Awalnya ia mulai menganggap mimpi itu sebagai bentuk gambaran atas kegelisahannya di kehidupan nyata. Tapi seiring dengan terlalu seringnya mimpi itu datang, Lisa mulai merasa sangat terganggu dan juga sedikit takut.

Bagaimana jika mimpi itu merupakan sebuah pertanda buruk?

Lisa cepat-cepat memukul kepalanya sendiri untuk mengusir pemikiran negatif itu. Ia kembali mengumpat dalam hati, berusaha mengembalikan akal sehatnya yang mulai terganggu akibat seonggok mimpi sialan. Gadis itu kemudian berniat bangkit untuk sekedar mencuci wajahnya. Namun dekapan seseorang membuatnya sadar jika ia tidak tidur sendirian malam itu. Ada Rosé yang kini tampak tak berniat untuk melepaskannya dalam waktu dekat. Anak itu selalu menempel di pagi hari dan Lisa kadang merasa kalau si gadis Park adalah adiknya jika dia bertingkah seperti ini.

"Lepaskan aku, Cheong-ah." Ucap Lisa pelan. Tangannya bergerak perlahan berusaha melepaskan tautan jemari Rosé yang terjalin erat memeluk pinggangnya. Anak itu melenguh dan mengangkat kepalanya untuk menatap Lisa dengan mata yang menyipit karena silau. "Mau kemana? Jangan pergi, ini masih pagi. Aku tidak suka dingin." Gumamnya yang terdengar seperti rengekan balita.

Lisa menghela napas pelan kemudian menepuk-nepuk lengan Rosé yang masih saja berada diatas tubuhnya. "Aku ada pemotretan pagi ini. Pergilah ke kamar Jisoo Unnie. Dia pasti masih tidur dan kau bisa memeluknya sesukamu." Ujarnya. Rosé mengerang sambil bergeser menjauh dari Lisa yang tampak akan segera bangkit dari ranjang.

"Jisoo dan Jennie Unnie tidak tidur disini, Lisa-ya. Mereka menginap di rumah kakek Gi-Jeong, ingat?" Kata Rosé yang membuat Lisa menepuk dahinya pelan. Ia baru ingat kalau kedua Unnie pamit untuk menginap semalam. "Aahhhh, aku tidak mau sendirian di dorm!" Keluh Rosé sebelum Lisa membalas perkataannya tadi.

"Ikut denganku saja." Ajak Lisa. Dan tanpa berpikir panjang, Rosé yang tidak memiliki jadwal apapun untuk hari itu langsung mengangguk dengan semangat.

***

"Aku pusing." Keluh Jennie sambil menggosok matanya yang lelah dengan punggung tangan. Jisoo yang tengah fokus pada buku di hadapannya hanya bergumam kecil dan membiarkan Jennie bersandar manja di bahunya. "Unnie, menurutmu, apa yang membuat kakek menyuruh kita untuk belajar lebih sering dari sebelumnya?" Tanya Jennie yang kini semakin menempelkan tubuhnya pada Jisoo. Jendeuk's behaviour wbk.

"Karena kita memiliki tanggung jawab, Jendeuk. Dan kita tidak tahu kapan semuanya akan dimulai. Jadi kakek harus mempersiapkan diri kita untuk menghadapi hal itu." Jelas Jisoo yang masih dalam mode serius. Jennie menghela napasnya kemudian kembali berkata dengan bibir mengerucut lucu. "Kadang aku berpikir, kalau bisa memilih, aku tidak mau berada di posisi ini, Unnie. Lebih baik jadi penyihir yang biasa saja. Menyulap seseorang menjadi katak, atau mengeluarkan kelinci dari dalam topi.. pasti rasanya tidak akan terlalu berat."

Jisoo terkekeh geli, "sayang sekali kita sudah terpilih bahkan jauh sebelum kita sendiri dilahirkan. Dan lagi, siapa pula yang mengubah seseorang menjadi katak di zaman ini?" Timpalnya geli sembari mencurahkan seluruh perhatiannya pada sang adik yang mendadak menjadi sangat manja pagi ini. Jennie mengangguk dan mengamit lengan kakaknya untuk ia peluk lebih erat. "Sayang sekali, harusnya aku bisa menjadi yang pertama." Gumamnya.

Jisoo tak menjawab. Gadis itu membiarkan keheningan menyelimuti mereka di dalam perpustakaan milik Gi-Jeong yang besarnya mungkin bisa menyamai perpustakaan kota ini. Sang kakek memang sangat menyukai buku. Terlebih sebagai tetua dari kaum mereka, perpustakaan di rumah Gi-Jeong memang menyimpan banyak sekali buku kuno milik kaum penyihir putih, termasuk buku bintang yang agung.

The WitchesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang