15. Lalisa and Her Thoughts

1.1K 188 6
                                    

Untuk pertama kalinya, Lalisa bangun lebih dulu dibanding tiga gadis lain. Untuk pertama kalinya pula, Lisa bisa melihat dengan jelas wajah polos Jisoo, Jennie dan Rosé yang tampak begitu lelap dan tenang dalam tidurnya. Gadis Thailand itu tidak pernah melakukan ini sebelumnya, tapi sekarang, ia tengah memperhatikan lamat-lamat wajah-wajah itu. Setelah semalam, Lisa baru menyadari bahwa seberapa lama pun mereka menghabiskan waktu bersama, nyatanya mereka tidak pernah benar-benar mengetahui segala hal tentang satu sama lain. Lisa hanya terlalu naif dan mengira bahwa mereka tidak pernah menyembunyikan apapun dari satu sama lain, padahal kenyataannya sangat bertolak belakang. Mungkin setelah ini ia harus menyiapkan diri untuk rahasia-rahasia besar yang mungkin akan terbuka dikemudian hari.

"Aku tahu aku cantik." Suara serak khas bangun tidur milik Rosé membuat Lisa mendengus dan cepat-cepat mengalihkan pandangannya dari gadis itu. "Igauanmu keterlaluan." Balas Lisa menyangkal. Rosé terkekeh kemudian bangun dan bersandar dengan hati-hati pada kepala ranjang. Berusaha menciptakan gerakan seminimal mungkin agar tidak membangunkan Jisoo juga Jennie yang masih terlelap diantara dirinya dan Lisa.

"Apa yang kau pikirkan dipagi buta seperti ini?" Tanya Rosé yang sejak tadi diam-diam menyadari tatapan dalam Lisa pada mereka bertiga. Si Maknae hanya menggeleng sekilas, "Aku tahu kita baru bangun, tapi ini jelas-jelas bukan pagi buta." Sahutnya tak menjawab pertanyaan gadis bermarga Park.

Rosé mengernyit untuk sesaat lalu mengendikan bahunya seakan tak peduli. "Ayo keluar. Biarkan mereka tidur lebih lama." Ajaknya sembari turun dari ranjang besar yang cukup untuk menampung mereka berempat itu. Lisa mengangguk dan mengikuti langkah Rosé yang membawa mereka ke dapur untuk minum.

Rosé menyodorkan segelas air dingin untuk Lisa kemudian duduk di kitchen stool, bersebelahan dengan sahabatnya. "Jadi, apa yang kau pikiran hingga membuatmu menatap kita bertiga seperti tadi?" Tanyanya yang membuat Lisa gelagapan. Ia kira Rosé akan melupakan pertanyaan tadi. Ia kira.. Rosé masih tertidur lelap saat ia menatap mereka tadi. Ia kira dirinya tidak akan tertangkap basah karena telah menatap gadis-gadis itu dalam tidurnya. Ternyata tidak. Sial sekali.

"Aku hanya.." Lisa terdiam sebentar. "Memperhatikan wajah kalian. Kau tahu? Air liurmu membanjiri telinga Jisoo Unnie sejak semalam." Lanjutnya dengan seringai menyebalkan yang tersungging dibibirnya. Rosé menatap tajam gadis itu kemudian mencubit perutnya dengan keras hingga si Maknae jahil itu menjerit kesakitan. "Kurang ajar! Aku tidak seperti itu ya!" Pekiknya beradu dengan jeritan Lisa.

"Ampun! Chaeng, astaga! Sebenarnya jarimu terbuat dari apa?!" Dengan menahan ringisannya, Lisa menjauh setelah berhasil melepaskan cubitan maut Rosé. Keduanya memang selalu seperti ini. Selain beradu mulut, mereka juga kadang melibatkan serangan fisik ringan seperti ini. Namun bukan berarti mereka saling membenci. Ikatan mereka malah menjadi semakin kuat dengan pertengkaran-pertengkatan itu. Agak aneh, tapi memang begitu kenyataannya.

"Dari besi. Dan aku tidak akan melakukan itu jika kau mau bercerita padaku!" Sergah Rosé dengan wajah merengut.

Lisa memutar matanya jengah, "Untuk apa aku bercerita padamu jika kalian saja masih menyimpan rahasia dariku?!" Ujarnya tanpa pikir panjang. Dan sesaat kemudian ketika keadaan menjadi hening, bola mata itu terbuka lebar seolah baru menyadari muntahan kata yang ia keluarkan. Rosé menatap gadis itu dalam diam lalu mengangguk pelan. "Jadi itu yang mengganggumu." Gumamnya. Lisa mengumpat dalam hati.

"Itu.." Rosé menghela napas pelan. "Aku mengerti. Aku juga merasakannya." Lanjutnya membuat Lisa kembali menatap gadis itu dengan cepat seakan mencari kebenaran akan ucapan sahabatnya. Rosé mendengus menyadari arti tatapan si Maknae, "Lisa, kita berada di posisi yang sama jika kau lupa." Katanya malas.

Lisa mengigit bibir bawahnya gugup. "Aku tidak tahu ini benar atau salah. Tapi aku merasa.. seperti dikhianati." Ucapnya sambil melirik Rosé yang mengangguk mendengarkan dan seakan menyuruh anak itu untuk melanjutkan. "Kita hidup bersama hampir sepuluh tahun. Aku banyak bergantung pada kalian, aku menceritakan segala hal pada kalian, aku sangat mempercayai kalian. Kalian adalah keluarga bagiku. Tapi ternyata, setelah aku sadari, nyatanya aku tidak mengenal kalian sepenuhnya." Lanjut Lisa melirih di akhir kalimatnya.  Rosé lagi-lagi mengangguk paham. Hal itu juga terus berputar dikepalanya sepanjang malam. Tapi setelah berpikir dengan kepala dingin, ia mulai bisa memahami keadaan ini.

The WitchesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang