Satu

843 46 2
                                    

Agustus 2014


Saat ini senyum tidak lepas dari bibir Rana. Meski jantungnya tengah jumpalitan, ia merasa bahagia yang tidak terkira. Semalaman ia susah tidur menanti datangnya hari ini. Pola tidur yang tidak teratur tidak menyurutkan aura bahagia yang jelas terpancar di wajah ovalnya.

Penata rias sudah masuk ke kamarnya sedari tadi. Ia bahkan sudah mandi sedari dini hari—saking tidak sabarnya.

Bagaimana tidak, hari ini adalah hari bahagianya. Sekali seumur hidup yang akan ia kenang selamanya. Penyatuan dua cinta yang selama ini merasuki relung hati. Memiliki sang kekasih seutuhnya hingga akhir hayat.

“Ucap basmallah dulu, Mbak,” peringat sang penata rias pada Rana.

Rana mengangguk antusias. Menuruti interuksi sang penata rias, Rana mengucap basmallah dalam hati. Berdoa demi kelancaran ijab qobul yang akan berlangsung beberapa jam lagi.

Seiring pulasan kuas makeup yang menari di kulit wajahnya, Rana tiba-tiba diserang gugup. Jantungnya semakin bertali hebat. Sudah tidak sabar melihat sang kekasih dalam balutan beskap yang serasi dengan kebaya yang akan ia kenakan.

Nervous, ya, Mbak?” tanya sang penata rias. Mencoba menciptakan suasana yang santai.

Rana yang tengah terpejam kembali mengangguk. “Banget, Mbak. Deg-degan, tapi seneng gitu.”

“Pasti mbaknya cinta banget sama calonnya, nih,” goda salah satu dari dua asisten penata rias. Rana tidak tahu siapa yang tengah berbicara.

“Banget. Nggak pake tapi,” jawab Rana mantap.

Jawaban Rana tentu membuat semua orang yang ada di kamar gadis itu cekikikan. Aura bahagia yang Rana pancarkan, turut menulari orang-orang di dekatnya.

Rasa deg-degan Rana lumayan berkurang karena perbincangan antara dirinya dan para penata rias. Saking asyiknya mengobrol, Rana bahkan tidak sadar jika riasannya telah dirampungkan.

Begitu membuka mata, gadis itu seketika terkesima menatap bayang dirinya di dalam cermin. Pengantin wanita di hadapannya begitu cantik dengan riasan natural. Meski riasan pengantin terkenal medok dan manglingin, hal tersebut tidak berlaku untuk Rana.

Karena masih berusia belasan tahun, sang mama meminta agar riasan Rana tidak setebal pengantin pada umumnya. Permintaan sang mama yang semula ditentang Rana, kini disyukuri gadis itu. Wajah Rana begitu memukau tanpa menghilangkan citra remaja di wajahnya.

“Gimana, Mbak? Suka?”


Rana mengangguk antusias sebagai respons dari pertanyaan tersebut.

“Suka banget, Mbak. Aku jadi cantik gini. Tangan Mbak bagus banget ngeriasnya. Good skill, nih,” puji Rana, tulus.

“Itu karena wajah mbaknya juga mulus. Bersih tanpa celah. Makanya makeup-nya nempel sempurna,” jelas sang penata rias.

Setelahnya, dibantu dua asisten penata rias, Rana mengenakan kebaya pengantinnya. Mematut diri di depan cermin, memastikan penampilannya paripurna. Calon ratu sehari itu pun tersenyum puas setelah semua aksesoris pernikahan sudah melekat di tubuhnya.

“Kalau begitu kami pamit dulu, ya, Mbak. Semoga lancar akadnya. Semoga jadi keluarga sakinah, mawadah, warahmah.”

“Aamiin. Makasih sekali lagi, ya, mbak-mbak semua.”

“Sama-sama, Mbak.”

Sepeninggal para penata riasnya, tinggallah Rana sendiri di dalam kamar. Kamar bernuansa pink itu kini telah bermetamorfosis menjadi kamar pengantin yang indah. Bunga artifisial tergantung di setiap sudut. Sebuket bunga pengantin yang masih segar pun kini berada di genggaman tangan Rana.

Hari ini, Rana—gadis yang belum genap 18 tahun itu—akan melepas masa lajangnya. Menikahi Nando, sang kekasih hati untuk menjadi pendamping seumur hidup.

Membayangkan akan membina mahligai rumah tangga bersama Nando, membuat pipi Rana bersemu merah. Ah, dia benar-benar tidak sabar mengganti statusnya menjadi Nyonya Nando.


***

September 2013


Nando berulang kali mengusap peluh di dahi dengan tisu yang tadi diberikan Rana. Susah payah ia menelan ludah di bawah tatapan orang tua gadis yang sudah dua tahun lebih menjadi kekasihnya.

Ini bukan kali pertama Nando bertandang ke rumah sang pujaan hati. Sebelum menjadikan Rana sebagai kekasih, Nando merupakan sahabat Aldo—anak tertua di rumah ini.

Namun kali ini berbeda. Tujuan Nando berkunjung bukan untuk menemui Aldo—bermain game atau mengerjakan tugas. Bukan pula untuk mengapeli Rana—meski kegiatan tersebut hanya bisa dihitung jari semenjak hubungan mereka dipublikasikan.

Kedatangan Nando kali ini, lebih dari itu. Bertujuan untuk mengutarakan sesuatu yang dapat mengubah masa depan percintaannya dengan Rana. Entah berujung bahagia, atau malah sebaliknya.

Radit—ayah Rana—lantas berdeham. Memecah ketegangan yang terasa begitu mencekam. Di sampingnya, sang istri—Annisa—menggenggam erat tangan sang suami. Berbagi perasaan dengan lelaki yang menemaninya selama ini.

“Jadi Nak Nando,” ucap Radit, susah payah, “kedatangan kamu ke mari untuk melamar anak saya, Rana. Bukan begitu?”

Nando nyaris tersedak ludahnya sendiri. Ia begitu gugup. Meski ucapan Radit benar adanya, tetap saja, jantungnya tengah jumpalitan saat ini.

“I—iya, Om. Benar. Saya ingin melamar Rana,” jawab Nando, kemudian.

“Kamu tahu usia kalian berapa saat ini?” tanya Radit.

“Tahu, Om. Tahun ini Rana 17 tahun dan saya Insya Allah 19 tahun.”

Dengkusan kasar napas Radit jelas terdengar. Saling melempar pandang penuh arti pada Rana, detak jantung Nando makin menggila. Apalagi dilihatnya kini Annisa tengah mengusap lengan Radit.

“Usia kalian terlalu muda untuk menikah,” ucap Annisa, lembut. “Bukan berarti kami menolak niat baik kamu, Nando.”

Nando mengangguk. Memahami perasaan kedua orang tua Rana dan kondisi yang tengah terjadi. Lelaki berkacamata itu, menarik senyum tipis. Berusaha meyakinkan calon mertuanya.

“Iya, Tante. Saya mengerti maksud Om dan Tante.”

“Apa kamu benar-benar serius dengan anak saya?”

Pertanyaan Radit yang penuh penekanan, membuat Nando menegakkan punggung. Tanpa ragu, lelaki itu mengangguk.

“Iya, Om. Saya benar-benar serius dengan Rana. Saya tidak mau Rana menikah dengan lelaki lain selain saya.”

Rona merah nampak jelas di kedua pipi Rana. Mengulum senyum, Rana menunduk menahan malu.

“Kalau kamu benar-benar serius dan ingin menikahi Rana ... saya setuju.”

Suasana seketika hening. Annisa menatap Radit, tidak percaya. Begitu pula dengan Nando dan Rana yang sedari tadi seolah tengah syuting film horor.

“Ma—maksud Om? Sa—saya diterima? Lamaran saya diterima?” kata Nando. Ingin memastikan apa yang ia dengar.

“Segera bawa orang tuamu ke mari. Biar para orang tua yang membahas kelanjutannya.”

“Serius, Om?” pekik Nando, tanpa sadar. Ia bahkan berdiri dan langsung menyalami tangan Radit.

“Paling lama dua minggu lagi. Lewat dari itu, saya anggap pertemuan ini tidak pernah ada.”

“Baik, Om. Saya akan langsung menyuruh kedua orang tua saya ke mari. Terima kasih, Om. Terima kasih, Tante.”

Senyum bahagia dan lega terbit di wajah Rana. Melempar pandang pada Nando yang mengembuskan napas lega, Rana mengacungkan kedua jempolnya.

“Selamat, ya,” ujar gadis itu, tanpa suara.

Menikah KembaliTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang