Delapan

134 21 2
                                    

Juli 2020

Sudah hampir lima menit mesin mobil dimatikan. Namun Nando masih bergeming, tak juga keluar dari mobilnya. Hati dan pikirannya tengah bergejolak. Akal sehatnya menyuruh untuk segera keluar. Namun hatinya menolak dan menyuruh agar Nando kembali menghidupkan mesin mobil dan memutar balik.

Menerima ajakan Aldo untuk datang ke rumahnya bukanlah hal yang tepat. Namun jika bukan sekarang, kapan lagi ia meluruskan tali-temali yang kusut itu?

Berbekal pemikirannya yang ingin memperbaiki hubungan pertemanan yang sempat carut marut, Nando memutuskan untuk segera keluar. Sebelum ia berubah pikiran.

Rumah dua tingkat di hadapannya kini terasa asing. Meski tidak banyak yang berubah, tetapi perasaan seperti orang yang baru pertama kali berkunjung Nando rasakan saat ini.

Melangkah pelan tetapi pasti, Nando maju menuju teras. Tidak lupa ia mencuci tangan di spot yang sudah disediakan. Wabah pandemi yang tengah melanda seluruh dunia, membuat kegiatan mencuci tangan menjadi hal yang wajib dilakukan sebelum masuk ke rumah.

Lelaki kacamata itu lantas menekan bel di dekat daun pintu. Tak berselang lama, sosok Aldo muncul dari balik pintu. Tidak ada senyuman, hanya anggukan pelan yang menyambut kedatangan Nando.

Memang apa yang Nando harapkan? Bukankah memang sedari dulu tidak ada senyuman yang berarti tiap kali Nando berkunjung ke sana? Namun kali ini ada yang berbeda. Sosok Rana yang selalu membukakan pintu setiap kali Nando berkunjung, kini tidak kelihatan batang hidungnya.

Seolah tahu arti tatapan Nando yang mengedar ke seluruh ruangan, Aldo menyeletuk, "Rana lagi nggak ada di sini."

Nando tersenyum kikuk. Gerak-geriknya ternyata dibaca Aldo dengan mudah. Program di otaknya kembali diaktifkan, seolah telah terlatih, Nando bergerak menuju kamar Aldo. Ruangan yang selalu dijadikan basecamp tiap kali mereka berkumpul.

"Hendra sama Rian bentar lagi sampe. Lo tunggu aja di dalem, gue ambil makan sama minum dulu," sahut Aldo. Tepukan ringan mendarat di bahu Nando ketika Aldo melewatinya.

Hening menyapa Nando ketika lelaki itu berada di kamar Aldo. Pandangan Nando mengedar, tanpa sedikit pun celah yang terlewat. Rasanya baru kemarin saat ia pertama kali berkunjung ke sini. Mengerjakan tugas sekolah bersama ketiga temannya: Aldo, Hendra, dan Rian.

Meski akhirnya mengerjakan tugas sekolah hanyalah sebuah kedok untuk mereka berempat. Alih-alih mengerjakan tugas sekolah, keempat lelaki yang belum sepenuhnya beranjak dewasa itu malah asyik bermain game.

Aroma kopi menguar. Nando seketika menoleh dan mendapati Aldo masuk membawa nampan berisikan teko dan empat cangkir. Sontak saja, Nando membantu Aldo meletakkan nampan tersebut ke meja kecil di tengah ruangan.

"Gini nih nasib nggak ada orang di rumah. Semua gue lakuin sendiri," canda Aldo.

"Mama sama Papa ke mana?" tanya Nando. Pantas saja rumah terasa sepi, ternyata hanya Aldo yang berada di sana.

"Lagi di rumah temennya. Nggak tahu ngapain," jawab Aldo.

Lelaki itu pun duduk di atas karpet, menghadap televisi. Nando dengan sigap membawa meja kecil itu ke hadapan mereka dan duduk di samping Aldo.

"Sama Rana?" tanya Nando hati-hati.

Aldo menoleh. Untuk beberapa saat keduanya bersitatap dalam diam sebelum akhirnya Aldo menggeleng.

"Nggak. Rana nggak ikut."

Nando hendak bertanya kembali, tetapi suara bel menginterupsi. Entah kenapa Aldo terlihat lega saat suara bel menghentikan niat Nando untuk melontarkan tanya.

Menikah KembaliTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang